![]() |
Qur'an Riwayat Hafsh |
Penulis membahas tentang utama pada materi standar ilmiah ilmu
tajwid bacaan Al-Qur’an berdasarkan Imam Hafsh ‘an ‘Ashim thariq
Asy-Syathibyyah ini, untuk memberikan wawasan atau gambaran umum kepada orang
Islam yang ada di Indonesia..
Pengertian Pembelajaran Ilmu Tajwid adalah pembelajaran merupakan
bagian dari strategi pembelajaran yang
berfungsi sebagai cara untuk menyampaikan, menguraikan memberi contoh dan
memberikan latihan kepada anak didik untuk mencapai tujuan tertentu.[3]
Roestiyah NK menguraikan bahwa pembelajaran adalah sebagai cara penyampaian
materi yang digunakan seorang guru dalam memberikan bahan pelajaran kepada
peserta didik di dalam kelas dengan harapan agar bahan pelajaran yang diberikannya
dapat ditangkap, dipahami dan digunakan oleh peserta didik dengan baik.[4]
Dalam proses pembelajaran, mempunyai kedudukan yang sangat penting
dalam upaya pencapaian, karena merupakan sarana dalam menyampaikan materi
pembelajaran yang tersusun dalam kurikulum. Akan tetapi pembelajaran tidak akan dapat berproses secara efektif dan
efisien dalam kegiatan pembelajaran menuju tugas pendidikan. Metode yang
tidak efektif akan menjadi penghambat
kelancaran proses belajar mengajar.
Oleh karena itu, yang diterapkan oleh seorang pengajar harus
berdaya guna dan berhasil guna dalam pencapaian tujuan pembelajaran sesuai yang
telah ditetapkan.
Ruang Lingkup Pembelajaran Ilmu Tajwid Membaca dan menyimak bacaan
Al-Qur’an telah dilakukan sejak wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., dan
beliaulah orang pertama kali yang membacanya, kemudian diikuti dan diajarkan
kepada para sahabat.[5]
Membaca Al-Qur’an tidak
sama seperti membaca koran atau buku-buku lain yang merupakan perkataan manusia
belaka. Membaca Al-Qur’an adalah membaca firman-firman Tuhan dan berkomunikasi
dengan Tuhan, maka seseorang yang membaca Al-Qur’an seolah-olah berdialog
dengan Tuhan. Olehnya itu, diperlukan pengetahuan atau keterampilan membaca
Al-Qur’an yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan kaidah ilmu tajwid.
Tajwid menurut maknanya ialah membetulkan dan membaguskan bunyi
bacaan Al-Qur’an menurut aturan-aturan hukumnya yang tertentu.[6]
Sedangkan pengertian tajwid menurut istilah ialah ilmu yang memberikan segala
pengertian tentang huruf, baik hak-hak huruf
maupun hukum-hukum baru yang timbul setelah hak-hak huruf dipenuhi, yang
terdiri atas sifat-sifat huruf, hukum-hukum mad, dan sebagainya. Sebagai contoh
adalah tarqiq, tafkhim dan semisalnya.
Dalam matan al-Jazariyyah, dijelaskan bahwa ilmu tajwid adalah ilmu
yang memberikan pengertian tentang hak-hak dari sifat huruf dan mustahaq
al-huruf.
Manna’ al-Qattan dalam bukunya “Pengantar Studi Al-Qur’an”
mendefinisikan tajwid: Memberikan kepada huruf akan hak-hak dan tertibnya,
mengembalikan huruf kepada asalnya (makhraj), serta menghaluskan pengucapannya
dengan cara yang sempurna tanpa berlebihan, kasar, tergesa-gesa dan dipaksakan.[7]
Dari beberapa pengertian tajwid di atas, maka secara garis besar
pokok bahasan atau ruang lingkup pembelajaran ilmu tajwid dapat dibagi menjadi
dua bagian[8],
yaitu:
1. Haq al-huruf, yaitu segala sesuatu yang lazim (wajib ada) pada
setiap huruf. Huruf ini meliputi sifat-sifat huruf dan tempat-tempat keluarnya
huruf. Apabila hak huruf ditiadakan, maka semua suara atau bunyi yang diucapkan
tidak mungkin mengandung makna karena bunyinya menjadi tidak jelas.
2. Mustahaq al-huruf, yaitu hukum-hukum baru yang timbul oleh
sebab-sebab tertentu setelah hak-hak huruf melekat pada setiap huruf. Mustahaq
al-huruf meliputi hukum-hukum seperti
izhar, ikhfa’, iqlab, idgam, qalqalah, gunnah, tafkhim, tarqiq, mad, waqaf dan
lain-lain.
Perlu dipahami bahwa salah satu
perbedaan tilawah antara seseorang dengan lainnya, sangat tergantung pada fasih
dan tidaknya pengucapan huruf dari pembaca itu sendiri. Untuk itu perlu
dipelajari dan diketahui tempat-tempat keluarnya huruf dan sifat-sifatnya. Yang
selanjutnya dipakai sebagai bahan latihan secara individu dengan terus menerus
(intensif), agar dapat tepat sesuai dengan kaidah-kaidah pengucapan huruf yang
benar.
Penulis akan menjabarkan beberapa standar
bacaan ilmu tajwid berdasarkan Imam
‘Ashim Riwayat Hafsh Thariq Asy-Syathibiyyah, yaitu:
1.
Makharij
al-huruf
Makharijul huruf adalah tempat keluar huruf hijaiyyah.[9]
Menurut pendapat yang terpilih bahwa huruf hijaiyyah terbagi menjadi 17 makhraj
(tempat keluar) dan makhraj ini ada di 5 tempat, yaitu:[10]
a. Al-Jauf adalah rongga mulut yaitu huruf mad
ا وي
b. Al-Haq adalah tenggorokan, terdapat di dalam 3 tempat, yaitu huruf ء ه ع ح غ خ
c. Al-Lisan adalah lidah, terdapat di dalam 10 makhraj, yaitu:
ط د ت ص س ز ر ن ل ض ي ش ج ك ق ظ ذ ث
d. Asy-Syafatahin adalah dua bibir, terdapat di dalam 2 makhraj, yaitu:
م ب ف و
2.
Sifat
al-huruf
Sifat-sifat huruf sangat penting untuk diketahui oleh para pembaca
Al-Qur’an, agar terhindar dari kesalahan dalam megucapkan huruf-huruf Al-Qur’an
ketika membaca Al-Qur’an. Huruf hijaiyyah sebagaiman manusia mempunyai
sifat-sifat khusus. Ada yang mempunyai sifat yang kuat, sifat yang lemah, dan
juga sifat yang pertengahan antara kuat dan lemah.[12]
Sifat menurut Bahasa adalah sesuatu arti
yang menempel pada sesuatu yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah cara
baru untuk mendapatkan suatu huruf pada tempat keluarnya huruf tersebut disaat
dibaca terang, lambat, halus, keras, dan lain-lain.[13]
Secara umum sifat huruf hijaiyyah dibagi
menjadi dua bagian, yaitu:
a. Sifat Ashliyah, yaitu sifat yang harus ada
pada huruf dalam keadaan apapun. Sifat Ashliyyah terbagi menjadi dua bagian,
yaitu:
1) Sifat-sifat yang berlawanan, yaitu:
a) Al-Hams (tersembunyi) adalah keadaan desis
antara nafas yang keluar bersama huruf karena sandaran makhrajnya lemah. Huruf
Hams ada 10 yang terkumpul pada kalimat فَحَثَّهُ شَخْصٌ سَكَتْ
lawannya Al-Jahr (terang atau jelas) adalah tertahannya nafas saat membunyikan
huruf, karena sandaran makhrajnya kuat.[14]
Huruf Jahr ada 18, yaitu selain huruf Hams dari huruf hijaiyyah yang 29.
b) Syiddah (kuat) adalah suara yang tercegah
keluar Bersama huruf karena makhrajnya kuat. Huruf Syiddah ada 8, yaitu: بَكَتْ أَجِدْ قَطٍ Lawannya Rakhawah (lunak atau lembut) adalah suara
yang keluar Bersama huruf karena sandaran makhrajnya lemah. Huruf Rakhawah ada
15 yaitu selain huruf Syiddah dan Tawassuth. Diantara Syiddah dan Rakhawah ada
yang dinamakan huruf pertengahan adalah Tawassuth artinya suara yang keluar
tidak semua terlepas. Huruf Tawassuth ada 5, yang terkumpul pada kalimat[15] لِنْ عُمَرْ
c) Isti’la (terangkat) adalah keadaan pangkal
lidah terangkat kelangit-langit atas tenggorokan pada saat membunyikan huruf
tersebut. Huruf Isti’la ada 7 yang terkumpul pada kalimat خُصَّ ضَغْطٍ قِظْ
Lawannya Istifal (rendah) adalah keadaan lidah menjauh dari langit-langit
tenggorokan saat membunyikan huruf. Huruf Istifal yaitu selain huruf Isti’la
dari 29 huruf hijaiyyah.[16]
d) Ithbaq (menempel) adalah keadaan lidah dan
langit-langit tenggorokan bertemu (bersentuhan) saat membunyikan huruf. Huruf
Ithbaq yaitu: ص ض ط ظ Lawannya Infitah (terbuka) adalah keadaan lidah dan
langit-langit tenggorokan saling menjauh saat membunyikan huruf. Huruf Infitah
yaitu selain huruf Ithbaq dari 29 huruf hijaiyyah.[17]
e) Idzhlaq (licin) adalah bunyi huruf keluar
dari ujung lidah dan bibir. Huruf Idzhlaq ada 6 yang terkumpul pada
kalimat فِرَّ مِنْ لُبٍ Lawannya Ishmat (diam) adalah tertahannya ujung lidah
dan bibir dari keadaan naik saat membunyikan huruf. Huruf Ishmat yaitu selain
huruf Idzhlaq dari 29 huruf hijaiyyah.[18]
2) Sifat-sifat yang tidak berlawanan, yaitu:
a) Shafir (desis atau siulan) adalah suara
yang lebih yang keluar dari gigi seri dan ujung lidah ketika mengucapkan salah
satu huruf shafir. Huruf shafir ada 3,
yaitu:[19] س ز ص
b) Qalqalah (memantul) adalah goncangan atau
pantulan suara ketika mengucapkan huruf qalqalah sehingga terdengar baginya
suara yang tinggi dan kuat. Huruf qalqalah ada 5 yang terkumpul dalam kalimat[20] قَطْبُ جَدٍّ
c) Al-Liin (mudah) adalah mengeluarkan
(membaca) huruf dari makhrajnya dengan mudah tanpa ada keberatan pada lidah.
Huruf Al-Liin ada 2, yaitu: و ي
d) Inhiraf (menyimpang) adalah kecondongan
huruf setelah keluar dari makhrajnya ketika diucapkan sehingga bersambung
dengan makhraj huruf lain. Huruf Inhiraf ada 2, yaitu: ل ر
e) At-Takrir (berulang) adalah bergetarnya
ujung lidah ketika mengucapkan huruf. Huruf takrir ada 1, yaitu: ر
f) Tafasysyi (tersebar atau terpancar) adalah
menyebarnya udara yang keluar antara lidah dan langit-langit tenggorokan ketika
mengucapkan huruf. Huruf Tafasysyi ada 1, yaitu: ش
g) Istithalah (memanjang) adalah memanjangkan
suara dari awal salah satu tepi lidah sampai ujung lidah. Huruf Istithalah ada
1, yaitu:[21]
ض
b. Sifat Aradhiyah, yaitu sifat yang datang
kemudian dalam keadaan tertentu. Seperti tarqiq[22]
dan tafkhim[23]
pada huruf ra’.[24]
Ada 2 sifat Aradhiyah, yaitu:
1)
Al-Khofa’ (samar atau tertutup) adalah samarnya suara huruf ketika
diucapkan. Hurufnya ada 4, yaitu: ه ا و ي
2)
Al-Ghunnah
(suara sedih di bagian belakang rongga hidung), yaitu suara yang sedap, lezat,
enak yang tersusun pada huruf[25] مّ نّ
3.
Ahkam
al-huruf
Ahkamul Huruf adalah hubungan antar
huruf-huruf Hijaiyah atau bisa di artikan hukum bacaan dalam Al-Qur’an. Dalam
hukum ini ada begitu banyak pembagiannya, namun penulis dalam hal ini membahas
sebagian kecil tentang hukum tajwid yang berkenaan dengan bertemunya huruf
hijaiyyah, diantaranya:
a. Nun Sukun dan Tanwin
Nun bersukun adalah huruf nun yang bertanda sukun. Nun
bersukun dikenal pula dengan sebutan nun mati, sedangkan tanwin menurut bahasa
adalah suara seperti kicauan burung dan menurut istilah tanwin adalah sumber
sukun yang bertemu dengan akhir Isim yang tampak dalam bentuk suara dan ketika washal, tidak dalam
penulisan dan pada saat waqaf.
Adapun perbedaan pokok antara nun
sukun dan tanwin
ialah nun bersukun tetap nyata dalam penulisan maupun pengucapan baik ketika
washal maupun waqaf, sedangkan tanwin tetap nyata atau terdengar dalam
pengucapan dan ketika washal , tidak dalam penulisan maupun waqaf. Hukum nun
mati dan tanwin ada 5 bagian yaitu:
1)
Izhar Halqi
(jelas dikerongkongan) yaitu dibaca jelas atau terang tanpa gunnah atau
mendengung ketika bertemu huruf Idzhar.[26]
Huruf Idzhar Halqi ada 6, yaitu:ء ه
ع ح غ خ contohnya di surah An-Nisa/4 ayat 118:
لَّعَنَهُ ٱللَّهُۘ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنۡ
عِبَادِكَ نَصِيبٗا مَّفۡرُوضٗا
١١٨
2)
Idgham menurut bahasa adalah memasukkan atau masuk. Menurut istilah adalah
memasukkan huruf yang sukun pada huruf yang berharakat, dan keduanya menjadi
satu huruf yang bertasydid seperti yang kedua. Huruf Idgham ada 6, terkumpul
dalam kalimat[27] يَرْمَلُوْنَ Idgham terbagi
menjadi 2, yaitu:
a)
Idgham bi ghunnah artinya apabila terdapat nun mati atau
tanwin bertemu dengan salah satu huruf yang terkumpul dalam lafazh[28] يَنْمُوْ contohnya di surah At-Taubah/9 ayat 51:
قُل
لَّن يُصِيبَنَآ إِلَّا مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَنَا هُوَ
مَوۡلَىٰنَاۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلۡيَتَوَكَّلِ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٥١
b)
Idgham bila ghunnah yaitu apabila
ada nun mati atau tanwin bertemu dengan huruf Idgham bila gunnah. Huruf Idgham bila gunnah ada 2, yaitu:[29] ل ر
contohnya di
surah Hud/11 ayat 68:
كَأَن لَّمۡ
يَغۡنَوۡاْ فِيهَآۗ أَلَآ إِنَّ ثَمُودَاْ كَفَرُواْ رَبَّهُمۡۗ أَلَا بُعۡدٗا
لِّثَمُودَ ٦٨
3)
Iqlab menurut bahasa
membalik. Menurut istilah adalah apabila ada huruf nun mati atau tanwin bertemu
dengan huruf iqlab maka cara membacanya menjadi mirip suara mim disertai
ghunnah ketika bertemu huruf:[30] ب
Contohnya di
surah An-Nisa/4 ayat 114:
لَّا
خَيۡرَ فِي كَثِيرٖ مِّن نَّجۡوَىٰهُمۡ إِلَّا مَنۡ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوۡ
مَعۡرُوفٍ أَوۡ إِصۡلَٰحِۢ بَيۡنَ ٱلنَّاسِۚ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ
ٱبۡتِغَآءَ مَرۡضَاتِ ٱللَّهِ فَسَوۡفَ نُؤۡتِيهِ أَجۡرًا عَظِيمٗا ١١٤
4)
Ikhfa Haqiqi, yaitu dibaca samar antara Idgham
dan izhar disertai gunnah ketika bertemu selain huruf. Huruf Ikhfa ada 15, yaitu:ض ط ظ
ف ق ك ت ث ج د ذ ش س ش ص
Salah satu contoh
Ikhfa Haqiqi nya di surah Al-Hajj/22
ayat 38:
إِنَّ
ٱللَّهَ يُدَٰفِعُ عَنِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٖ
كَفُورٍ ٣٨
b.
Hukum Mim Mati
Adapun
cara membaca hukum mim mati ada tiga cara:
1)
Ikhfa' Syafawi,
yaitu dibaca samar disertai guna ketika mim mati bertemu huruf ikhfa syafawi.
Adapun hurufnya ialah ب
contohnya, di surah An-Nisa/ 4 ayat 56:
إِنَّ
ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بَِٔايَٰتِنَا سَوۡفَ نُصۡلِيهِمۡ نَارٗا
كُلَّمَا نَضِجَتۡ جُلُودُهُم بَدَّلۡنَٰهُمۡ جُلُودًا غَيۡرَهَا
لِيَذُوقُواْ ٱلۡعَذَابَۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَزِيزًا حَكِيمٗا ٥٦
2)
Idhgham Mimi, yaitu memasukkan mim mati ke huruf
mim berikutnya dan disertai gunnah ketika bertemu huruf Mim. Contohnya, di surah Yasiin/36 ayat 37:
وَءَايَةٞ لَّهُمُ ٱلَّيۡلُ نَسۡلَخُ مِنۡهُ
ٱلنَّهَارَ فَإِذَا هُم مُّظۡلِمُونَ ٣٧
3)
Idzhar
Syafawi, yaitu dibaca
jelas tanpa dengung ketika mim mati bertemu selain huruf Mim dan Ba,[31]
dari huruf hijaiyyah yang 28. Contohnya, di surah Al-Baqarah/2 ayat 9:
يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ
وَمَا يَخۡدَعُونَ إِلَّآ أَنفُسَهُمۡ وَمَا يَشۡعُرُونَ ٩
c. Hukum Mim dan Nun yang Bertasydid
Huruf-huruf bertasydid merupakan pengibaran
dari 2 huruf yang sama. Yang pertama sukun dan yang kedua berharakat, lantas
keduanya ditulis dengan satu huruf dan diucapkan dengan 2 huruf.[32]
Dimana saja di dalam Al-Qur’an kalau ada
huruf Mim dan Nun yang bertasydid maka dinamakan dengan bacaan Ghunnah dan
harus dibaca dengung 2 harakat. Ghunnah ialah terjadi pada kalimat langsung,
yaitu huruf Mim dan Nunnya bertasydid dan ada juga yang tidak langsung, huruf
Mim dan Nun yang bertasydid tersebut didahului huruf Lam Ta’rif. Maka cara
membaca Ghunnah baik yang langsung maupun tidak langsung, harus dibaca dengan
dengung 2 harakat. Karena hukumnya memang wajibul Ghunnah, yakni wajib dibaca
dengung.[33]
Contohnya ada di dalam surah Al-Baqarah/2
ayat 222:
وَيَسَۡٔلُونَكَ
عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذٗى فَٱعۡتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ
وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ فَأۡتُوهُنَّ
مِنۡ حَيۡثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ
ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ ٢٢٢
4.
Ahkam
al-mad wa al-qasr
Salah satu bahagian yang tidak kalah
pentingnya untuk dipelajari dalam ilmu tajwid adalah hukum mad. Karena itu
pemahaman yang minim mengenai hukum mad ini akan menyebabkan qari’ atau pembaca
Al-Qur’an jatuh pada kesalahan membaca, yaitu memendekkan huruf yang seharusnya
dibaca panjang atau sebaliknya. Sebelum penulis menguraikan lebih lanjut
tentang hukum mad dan qashr,
maka ada baiknya diuraikan asal usul kejadiannya.
Dari sahabat Ibnu Mas’ud r.a. yang
diriwayatkan oleh at-Tabrani dalam Mu’jam al-Kabir diriwayatkan bahwa “ketika
Ibnu Mas’ud membacakan (mengajarkan) pada seorang laki-laki surah al-Taubah/9:
60, lalu laki-laki itu membacanya dengan lurus tanpa mad. Maka Ibnu Mas’ud
berkata, “Tidak begitu yang diajarkan Rasulullah saw. padaku”. Laki-laki itu
bertanya: “Memangnya bagaimana Beliau membacakannya kepadamu wahai Abu
Abdirrahman? Ibnu Mas’ud berkata: “Beliau membacakannya kepadaku dengan
memanjangkan huruf-hurufnya
yang panjang”.[34]
Riwayat inilah yang menjadi dasar atau dalil mengenai bacaan mad.
a.
Definisi
Mad
Mad menurut bahasa ialah
memanjangkan dan menambah.[35] Sedangkan menurut istilah mad adalah
memanjangkan suara pada salah satu dari huruf mad ashli. Huruf yang
memberi status mad ada tiga, yaitu alif, waw dan ya, ketiga huruf ini menjadi
huruf mad apabila dalam keadaan mati dengan ketentuan bahwa: sebelum alif ada
huruf yang berharakat fathah, sebelum waw ada huruf berharakat dhammah dan
sebelum ya mati ada huruf yang berharakat kasrah. Apabila syarat tersebut di
atas tidak terpenuhi maka tidak terjadi hukum mad.[36]
1)
Jenis-Jenis
Mad
Dalam ilmu tajwid, mad dibagi
menjadi dua bagian, yaitu mad ashli dan mad far’i. Kedua mad ini menjadi tema
central dalam setiap pembahasan tentang hukum mad, karena pembagian inilah yang
lazim dikenal dalam ilmu tajwid.
Untuk lebih jelasnya tentang kedua
mad ini, berikut akan diuraikan secara
rinci, yaitu:
a)
Mad
Ashli
Mad ashli adalah hukum mad yang dasar atau pokok, mad ashli dikenal pula dengan istilah mad thabi’i yang secara bahasa artinya tabiat. Dinamakan demikian karena
seseorang yang mempunyai tabiat yang baik tidak mungkin akan mengurangi atau
menambah panjang bacaan dari yang telah ditetapkan.[37] Ukuran Panjang mad Ashli adalah 1 alif atau 2
harakat.[38]
Huruf mad ada 3, yaitu huruf wawu yang
bersukun setelah ada dhammah, huruf ya bersukun setelah ada kasrah dan huruf
alif yang tidak berharakat setelah ada huruf yang harakat fathah.[39]
Untuk memudahkan mengenal bacaan Mad
Thabi’i atau Mad Ashli ini, perlu kiranya mengetahui pembagian hokum bacaan Mad
Thobi’i. Mad Thobi’I atau Mad Ashli dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
(1) Mad Thobi’i Harfi, yaitu Mad Thobi’i yang
berupa huruf pada pembuka surah atau awal surah. Hurufnya ada 5, yaitu: حَيٌّ طَهُرَ
(2) Mad Thobi’i Hukmi, yaitu Mad Thobi’i yang
berupa Ha Kinayah atau Dhamir, yang terkandung pada kata-kata بِهِ عِلْمٌ huruf Ha tersebut dibaca
Panjang 2 harakat ketika menyambung bacaan dan ketika berhenti dibaca pendek.
(3) Mad Thobi’i Haqiqi, yaitu Mad Thobi’i yang
huruf Madnya tertulis dengan huruf mad yang Ashli, yakni alif yang didahului
fahtah, ya mati yang didahului harakat kasrah dan wawu mati yang didahului
harakat dhammah sesudah berupa huruf hidup selain hamzah. Maka harus dibaca
Panjang 2 harakat ketika washal (menyambung bacaan) dan ketika waqaf (berhenti)
dibaca boleh 2, 4 atau 6 harakat.[40]
b.
Mad
Far’i
Far’i menurut bahasa berasal dari
kata far’un yang artinya cabang, sedangkan menurut istilah mad far’i
adalah mad yang merupakan hukum tambahan dari mad ashli (sebagai hukum
asalnya), yang disebabkan oleh hamzah atau sukun.[41]
Mad far’i merupakan mad yang kadar
panjangnya lebih dari dua harakat atau lebih dari satu alif. Pembagian dari mad
far’i adalah:
1) Mad Wajib Muttashil
Mad wajib Muttashil adalah huruf mad bertemu dengan
huruf hamzah dalam satu kata. Disebut wajib karena para ahli qira’at sepakat
harus membaca Panjang. Disebut Muttashil karena huruf mad bertemu dengan huruf
hamzah dalam satu kata.[42]
Kadar Panjang bacaan Mad Wajib Muttashil ketika washal
adalah 4 atau 5 harakat, sedangkan ketika waqaf adalah 6 harakat.[43]
Para ulama berbeda pendapat tentang ukuran
panjangnnya. Menurut riwayat Amr, Qalun dan Ibnu Katsir panjangnya 1 ½ alif (3
harakat). Sedangkan menurut riwayat Ibnu Amir dan Al-Kisa’I panjangnya 2 alif
(4 harakat) dan menurut riwayat ‘Ashim panjangnya 2 ½ alif (5 harakat) dan
menurut riwayat Warsy dan Hamzah panjangnya 3 alif (6 harakat). Jadi Panjang
Mad Wajib Muttashil yang dipakai Imam ‘Ashim Riwayat Hafsh adalah 4 atau 5
harakat.[44]
Contoh bacaan Mad Wajib Muttashil di surah Ali-Imron/3
ayat 185:
كُلُّ
نَفۡسٖ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوۡنَ أُجُورَكُمۡ
يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۖ فَمَن زُحۡزِحَ عَنِ ٱلنَّارِ وَأُدۡخِلَ ٱلۡجَنَّةَ فَقَدۡ
فَازَۗ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ ١٨٥
2) Mad Jaiz Munfashil
Secara ilmiah Mad Jaiz Munfashil adalah
apabila da huruf mad yang sesudahnya berupa huruf hamzah dan terletak dilain
kata. Bilamana ada bacaan seperti ini, dimana saja di dalam Al-Qur’an, harus
dibaca 4 atau 5 harakat ketika washal.[45]
Contohnya disurah Ar-Ruum/39 ayat 52:
أَوَ لَمۡ يَعۡلَمُوٓاْ
أَنَّ ٱللَّهَ يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ وَيَقۡدِرُۚ
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ ٥٢
3) Mad Ladzhim
Mad Ladzhim adalah huruf mad yang bertemu dengan huruf
yang bertasydid atau sukun Ashli dalam satu kata. Ukuran Panjangnya 6 harakat.[46]
Mad Ladzhim terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:
a) Mad Ladzhim Kilmi Mutsaqal adalah apabila
ada huruf Mad yang sesudahnya berupa huruf bertasydid, dan terletak dalam satu
kata.[47]
Contohnya di dalam surah Al-Fathihah/1 ayat 7:
صِرَٰطَ
ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ ٧
b) Mad Ladzhim Kilmi Mukhaffaf adalah mad yang
datang setelahnya sukun yang ladzhim pada sebuah kata dengan tanpa Idgham.[48]
Contohnya di dalam surah Yunus/10 ayat 51:
أَثُمَّ
إِذَا مَا وَقَعَ ءَامَنتُم بِهِۦٓۚ ءَآلۡـَٰٔنَ وَقَدۡ كُنتُم
بِهِۦ تَسۡتَعۡجِلُونَ ٥١
c) Mad Ladzhim Harfi Mutsaqal adalah huruf mad
bertemu dengan huruf yang bertasydid dalam satu kata atau kalimat.[49]
Contohnya di dalam surah Al-Baqarah/2 ayat 1:
الٓمٓ
١
d) Mad Ladzhim Harfi Mukhaffaf adalah apabila
ada huruf mad yang sesudahnya berupa huruf mati (sukun) Ashli yang tidak di
Idghamkan, yaitu terdapat pada huruf hijaiyyah yang mejadi fawatihus Suwar
(awal surah).[50]
Contohnya di dalam surah Yasin/36 ayat 1:
يسٓ ١
4) Mad ‘Aridh Lissukun
Dinamakan Mad ‘Aridh lisukun adalah karena terdapat
huruf mati yang baru disaat berhenti. Sedangkan jika diwashal maka hukum
bacaannya menjadi Mad Thobi’I atau Mad Ashli. Cara membaca Mad ‘Aridh Lisukun
ada 3 cara yaitu boleh 2, 4 atau 6 harakat.[51]
Contohnya di dalam surah Al-Baqarah/2 ayat 8:
وَمِنَ
ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَبِٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَمَا هُم بِمُؤۡمِنِينَ ٨
5) Mad Badal
Mad Badal adalah huruf hamzah berharakat bertemu
dengan huruf mad. Ukuran Panjang bacaan mad Badal adalah 2 harakat.[52]
Contohnya di dalam surah Al-Baqarah/2 ayat 285:
ءَامَنَ
ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۚ كُلٌّ
ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ لَا نُفَرِّقُ
بَيۡنَ أَحَدٖ مِّن رُّسُلِهِۦۚ وَقَالُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۖ غُفۡرَانَكَ
رَبَّنَا وَإِلَيۡكَ ٱلۡمَصِيرُ ٢٨٥
6) Mad Iwadh
Mad Iwadh adalah berhenti pada tanwin yang terletak di
akhir kata, sedangkan ukuran Panjang bacaan Mad Iwadh adalah 2 harakat.[53]
Contohnya di dalam surah An-Naba’/78 ayat 38:
يَوۡمَ
يَقُومُ ٱلرُّوحُ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ صَفّٗاۖ لَّا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنۡ
أَذِنَ لَهُ ٱلرَّحۡمَٰنُ وَقَالَ صَوَابٗا ٣٨
7) Mad Tamkin
Mad Tamkin adalah apabila berhimpun 2 Ya, yaitu Ya
pertama bertasydid dan berbaris kasrah, sedangkan Ya kedua mati atau sukun.[54]
Panjang bacaan Mad Tamkin adalah 2 harakat. Contohnya di dalam surah
Al-Baqarah/2 ayat 61:
وَإِذۡ
قُلۡتُمۡ يَٰمُوسَىٰ لَن نَّصۡبِرَ عَلَىٰ طَعَامٖ وَٰحِدٖ فَٱدۡعُ لَنَا رَبَّكَ
يُخۡرِجۡ لَنَا مِمَّا تُنۢبِتُ ٱلۡأَرۡضُ مِنۢ بَقۡلِهَا وَقِثَّآئِهَا
وَفُومِهَا وَعَدَسِهَا وَبَصَلِهَاۖ قَالَ أَتَسۡتَبۡدِلُونَ ٱلَّذِي هُوَ
أَدۡنَىٰ بِٱلَّذِي هُوَ خَيۡرٌۚ ٱهۡبِطُواْ مِصۡرٗا فَإِنَّ لَكُم مَّا
سَأَلۡتُمۡۗ وَضُرِبَتۡ عَلَيۡهِمُ ٱلذِّلَّةُ وَٱلۡمَسۡكَنَةُ وَبَآءُو بِغَضَبٖ
مِّنَ ٱللَّهِۗ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ يَكۡفُرُونَ بَِٔايَٰتِ
ٱللَّهِ وَيَقۡتُلُونَ ٱلنَّبِيِّۧنَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّۗ ذَٰلِكَ بِمَا
عَصَواْ وَّكَانُواْ يَعۡتَدُونَ ٦١
8) Mad Liin
Liin artinya lunak. Mad Liin adalah huruf mad yang
berupa huruf wawu atau ya’ bersukun yang sebelumnya ada huruf yang berharakat
fahtah. Ukuran Panjang membacanya ketika waqaf. Panjang bacaannya adalah 2, 4
atau 6. Contohnya di dalam surah Al-Qurasy/106 ayat 1:
لِإِيلَٰفِ
قُرَيۡشٍ ١
Sedangkan jika huruf Liin di baca washal, maka dibaca
qashr (tanpa mad) dengan ukuran 1 harakat lebih kurang dari 2 harakat. Istilah
ini dinamakan Maddimma Qashrimma. Dinamakan hukum tersebut adalah Harfulin.[55]
Contohnya di dalam surah Al-Fathihah/1 ayat 1:
صِرَٰطَ
ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ
وَلَا ٱلضَّآلِّينَ ٧
9) Mad Farqi
Farqi artinya pembeda (membedakan). Secara istilah, mad farq ialah
bacaan panjang yang berfungsi untuk membedakan kalimat istifham (pertanyaan)
dan khabar (keterangan) karena jika tidak dibedakan dengan mad, kalimat
istifham akan disangka kalimat khabar, padahal hamzah tersebut adalah hamzah
istifham.[56]
Cara membaca mad farqi ialah
dipanjangkan enam harakat atau tiga alif, yaitu tatkala melafalkan hamzah
istifham kemudian ditasydidkan pada huruf idgam syamsiyyah di kalimat
berikutnya.[57]
Contohnya di dalam surah Al-‘An’am/6 ayat
144:
وَمِنَ
ٱلۡإِبِلِ ٱثۡنَيۡنِ وَمِنَ ٱلۡبَقَرِ ٱثۡنَيۡنِۗ قُلۡ ءَآلذَّكَرَيۡنِ
حَرَّمَ أَمِ ٱلۡأُنثَيَيۡنِ أَمَّا ٱشۡتَمَلَتۡ عَلَيۡهِ أَرۡحَامُ
ٱلۡأُنثَيَيۡنِۖ أَمۡ كُنتُمۡ شُهَدَآءَ إِذۡ وَصَّىٰكُمُ ٱللَّهُ بِهَٰذَاۚ
فَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّنِ ٱفۡتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبٗا لِّيُضِلَّ ٱلنَّاسَ
بِغَيۡرِ عِلۡمٍۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ ١٤٤
10) Mad Shilah terbagi 2, yaitu:
a) Mad Shilah Qashirah
Mad Shilah
Qashirah, yaitu apabila ada huruf Ha Dhammir yang berada diakhir kata yang
berharakat dhammah atau kasrah yang sebelumnya ada huruf yang berharakat dan
sesudahnya, dan juga tidak ada hamzah washal, maka dibaca Panjang 2 harakat.[58]
b) Mad Shilah Thawilah
Silah artinya hubungan, thawilah artinya panjang. Sedang menurut
istilah mad silah thawilah adalah
apabila setelah Ha dhamir terdapat hamzah qat’i.
Jadi syarat terjadinya mad shilah
thawilah adalah adanya huruf hamzah setelah ha dhamir, jika tidak ada hamzah
makanya hukumnya mad shilah qasirah. Adapun cara membacanya adalah dipanjangkan
4 atau 5
harakat, baik ha dhamir itu
berharakat dammah maupun kasrah. Contoh Mad Shilah Thawilah terdapat di surah Al-Baqarah/2 ayat 112:
بَلَىٰۚ مَنۡ أَسۡلَمَ
وَجۡهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحۡسِنٞ فَلَهُۥٓ أَجۡرُهُۥ عِندَ
رَبِّهِۦ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ ١١٢
5.
Ahkam
al-waqf wa al-ibtida’
Menurut bahasa waqaf adalah al-Habsu
yang artinya menahan, sedangkan menurut istilah, waqaf adalah memutuskan suara
pada suatu kalimat dalam waktu tertentu, tidak begitu lama kemudian mengambil
nafas satu kali dengan niat untuk memulai kembali bacaan Al-Qur’an.[59]
Waqaf disini ialah berhenti atau
memutuskan suara bacaan pada akhir kata, akhir kalimat atau akhir ayat karena
keterbatasan kekuatan panjang dan pendek nafas seseorang atau dengan sengaja
berhenti karena ada tanda waqaf. Lawan dari waqaf (berhenti) ialah whasal yang berarti menyambung bacaan.[60]
Sedangkan Ibtida’
ialah memulai bacaan dari awal atau setelah berhenti di tengah bacaan. Jadi,
ibtida’ berarti memulai bacaan yang dilakukan hanya pada perkataan yang tidak
merusak arti dan susunan kalimat.
Imam Ibnu Al-Jazari berkata bahwa
ibtida’ itu tidak ada kecuali karena keinginan si pembaca Al-Qur’an sendiri.
Ibtida’ tidak ada yang sebab darurat karena ibtida’ memang bukan seperti waqaf
yang terkadang disebabkan karena kondisi terpaksa, menjawab pertanyaan atau
‘uzur lainnya.
Adapun hal-ihwal waqaf yang terbahas pada literatur
utama ada 4 macam, yaitu:
a.
Waqaf Ikhtibari
Waqaf
Ikhtibari ialah seorang pembaca menghentikan bacaannya pada suatu kata yang
bukan tempat waqaf karena proses belajar dan mengajar untuk menjelaskan hukum
kata yang dihentikan.
b.
Waqaf
Intizhari
Waqaf intizhari ialah berhenti
(menunggu) pada suatu kalimat guna dihubungkan dengan kalimat lain pada bacaan
yang tengah dibaca, ketika ia menghimpun beberapa qira’at dan ada beberapa
perbedaan riwayat. Waqaf ini hanya dikhususkan bagi orang yang belajar ilmu
qira’at. Teknisnya, seorang murid membaca dihadapan guru dengan riwayat bacaan
tertentu dan berhenti pada sebuah kalimat yang baik, kemudian memulai dan
mengulang bacaannya dengan riwayat bacaan yang lain.
c.
Waqaf
Idhtirari
Waqaf idhtirari ialah berhenti mendadak
karena terpaksa seperti kehabisan nafas, batuk dan lupa. Namun, ketika qari’
hendak memulai lagi bacaannya, ada dua pilihan yaitu wajib memulai kembali
bacaannya dari kalimat sebelumnya yang cocok dan baik jika penghentian bacaan
yang dilakukannya tidak sempurna, atau boleh melanjutkan bacaan pada kalimat
berikutnya tanpa harus mengulang kembali bacaannya jika berhenti pada tempat
yang dibenarkan.
d.
Waqaf
Ikhtiyari
Waqaf ikhtiyari ialah waqaf yang
disengaja (atau dipilih) bukan karena suatu sebab. Jadi pilihannya untuk waqaf
pada lafaz atau kalimat tersebut bukan karena alasan idhtirari (darurat),
intizhari (menunggu) atau ikhtibari (memberi keterangan), keputusannya untuk
waqaf semata-mata merupakan pilihan hatinya sendiri.[61]
Hukum waqaf ikhtiyari ialah Ja’iz
(boleh) selama ia memperhatikan hal-hal yang perlu diperhatikan ketika waqaf.
Menurut penelitian mayoritas ulama Waqaf Ikhtiyari dibagi
menjadi 5 tingkatan, yaitu:
1) Waqaf Tam
Menurut Bahasa adalah waqaf yang sempurna. Sedangkan
menurut istilah adalah waqaf pada akhir kalam atau pembicara yang sudah
sempurna dan tidak terkait dengan redaksi pembicara sesudahnya, baik dari segi
lafazh maupun maknanya. Oleh sebab itu untuk jenis tingkat ini bagus di
waqafkan dan ibtida’ (memulai bacaan lagi) pada lanjutannya tidak usah
mengulang dari sebelumnya.[62]
2) Waqaf Kafi
Menurut bahasa adalah waqaf yang cukup. Sedang menurut
istilah adalah waqaf pada akhir kalam atau pembicaraan yang sudah sempurna,
akan tetapi masih ada kaitan makna dengan redaksi pembicara sesudahnya. Oleh
sebab itu untuk jenis tingkat ini bagus untuk waqaf atau baik untuk berhenti,
sedangkan untuk ibtida’ cukup pada lanjutannya tidak usah mengulang dari
sebelumnya.[63]
3) Waqaf Hasan
Waqaf hasan yaitu berhenti pada kalimat yang sempurna
susunannya, tetapi masih ada keterkaitan dengan kalimat setelahnya, baik lafazh
maupun makna.[64]
Sedangkan menurut Bahasa adalah waqaf yang baik.
Sedangkan menurut istilah adalah waqaf pada akhir kalam atau pembicaraan yang
berkaitan dengan sesudahnya, baik dari segi lafazh maupun maknanya.[65]
4) Waqaf Qabih
Waqaf Qabih yaitu berhenti pada kalimat yang belum
sempurna susunannya yang belum memberikan makna yang benar karena adanya
keterkaitan dengan kalimat setelahnya, baik lafazh maupun maknanya.
Sedangkan menurut Bahasa waqaf yang jelek. Menurut
istilah adalah waqaf pada akhir kalam atau pembicaraan yang belum sempurna dan
belum dapat difahami. Oleh karena itu untuk jenis tingkat ini tidak boleh
diwaqafkan, kecuali dalam keadaan darurat misalnya kehabisan nafas, atau ada
kejadian mendadak apa saja yang mengharuskan untuk waqaf.[66]
5) Aqbahul Waqfiy
Waqaf yang paling jelek adalah jika mengakibatkan
rusak makna dan maksud isi kandungan Al-Qur’an. Apabila pembaca mengetahui
maknanya dan sengaja waqaf, haram hukumnya, apabila disertai i’tiqad
(kepercayaan) dalam hati tentunya bisa menjadikan kufur (menutupi atau
mengingkari).
Keterangan tajwid di atas adalah sebagian kecil standar ilmu tajwid bacaan al-qur'an berdasarkan Imam 'Ashim Riwayat Hafsh Thariq As-Syathibiyyah. Semoga apa yang kami tulis bermanfaat dan mengambil ilmu ini, karena tulisan ini berdasarkan refrensi yang jelas. Terimakasih
[1] Ahmad Fathoni, Petunjuk Praktis Tahsin Tartil Al-Qur’an Metode
Maisura, Bogor: Duta Grafika, 2017, hal. 5.
[3] Martinis Yamin, Strategi
Pembelajaran Berbasis Kompetensi, Jakarta: Gaung Persada Press, 2004, hal.
58.
[5] ‘Abd Salam Muqbil al-Majidi, Bagaimana
Rasulullah Mengajarkan Al-Qur’an kepada Para Sahabat, Jakarta: Darul Falah, 2008, cet. 1, hal. 19.
[7] Manna’ al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, terj. Annur
Rafiq Al-Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2008, Cet. 3, hal. 229.
[8] Sei H. Dt. Tombak Alam, Ilmu
Tajwid Populer 17 Kali Pandai, Jakarta: Amzah, 2008, Cet. 17, hal. 15.
[9] Sa’id bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan Hidayah
ash-Shibyan, Jakarta: Munash Press, 2017, cet. 1, hal. 59. Lihat juga Otong Surasman, BBM Al-Qur’an Metode As-Surasmaniyyah, Jakarta:
Gema Insan, 2013, cet. 1, hal. 215.
[10] Ahmad Fathoni, Petunjuk Tahsin Tartil Al-Qur’an: Metode Maisura, Bogor:
CV Duta Grafika, 2017, cet. 10, hal. 15.
[11] Otong Surasman, BBM Al-Qur’an Metode
As-Surasmaniyyah, Jakarta: Gema Insan, 2013, cet. 1, hal. 216. Lihat juga
Ahmad Fathoni, Petunjuk Tahsin Tartil Al-Qur’an: Metode Maisura, Bogor:
CV Duta Grafika, 2017, cet. 10, hal. 16.
Lihat juga Sa’id bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan Hidayah
ash-Shibyan, Jakarta: Munash Press, 2017, cet. 1, hal. 59. Dan lihat juga
Muhammad al-Mahmud, Hidayatul Mustafid: Ilmu Tajwid Lengkap dan Praktis, t.p:
Sarana Ilmiah, t.th. hal. 37.
[12] Otong Surasman, BBM Al-Qur’an Metode
As-Surasmaniyyah, Jakarta: Gema Insan, 2013, cet. 1, hal. 216.
[13] Muhammad al-Mahmud, Hidayatul Mustafid: Ilmu Tajwid
Lengkap dan Praktis, t.p: Sarana Ilmiah, t.th. hal. 41.
[14] Muhammad al-Mahmud, Hidayatul Mustafid: Ilmu Tajwid
Lengkap dan Praktis, …, hal. 41. Lihat juga Otong Surasman, BBM
Al-Qur’an Metode As-Surasmaniyyah, Jakarta: Gema Insan, 2013, cet. 1, hal.
216. Lihat juga Sa’id bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan Hidayah
ash-Shibyan, Jakarta: Munash Press, 2017, cet. 1, hal. 59.
[15] Sa’id bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan
Hidayah ash-Shibyan, …, hal. 60. Lihat juga Otong Surasman, BBM
Al-Qur’an Metode As-Surasmaniyyah, Jakarta: Gema Insan, 2013, cet. 1, hal.
217. Lihat juga Ahmad Fathoni, Petunjuk Tahsin Tartil Al-Qur’an: Metode
Maisura, Bogor: CV Duta Grafika, 2017, cet. 10, hal. 10. Dan lihat juga Muhammad al-Mahmud, Hidayatul
Mustafid: Ilmu Tajwid Lengkap dan Praktis, t.p: Sarana Ilmiah, t.th.
hal. 41.
[16] Otong Surasman, BBM Al-Qur’an Metode
As-Surasmaniyyah, Jakarta: Gema Insan, 2013, cet. 1, hal. 217. Lihat juga
Ahmad Fathoni, Petunjuk Tahsin Tartil Al-Qur’an: Metode Maisura, Bogor:
CV Duta Grafika, 2017, cet. 10, hal. 11.
Lihat juga Sa’id bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan Hidayah
ash-Shibyan, Jakarta: Munash Press, 2017, cet. 1, hal. 60-61. Dan lihat
juga Muhammad al-Mahmud, Hidayatul Mustafid: Ilmu Tajwid Lengkap dan
Praktis, t.p: Sarana Ilmiah, t.th. hal. 42.
[17] Ahmad Fathoni, Petunjuk Tahsin Tartil Al-Qur’an:
Metode Maisura, Bogor: CV Duta Grafika, 2017, cet. 10, hal. 12. Lihat juga Sa’id bin Sa’d bin Nabhan
al-Hadhrami, Terjemahan Hidayah ash-Shibyan, Jakarta: Munash Press,
2017, cet. 1, hal. 61. Lihat Muhammad al-Mahmud, Hidayatul Mustafid: Ilmu
Tajwid Lengkap dan Praktis, t.p: Sarana Ilmiah, t.th. hal. 42. Lihat
juga Otong Surasman, BBM Al-Qur’an Metode As-Surasmaniyyah, Jakarta:
Gema Insan, 2013, cet. 1, hal. 217.
[18] Muhammad al-Mahmud, Hidayatul Mustafid: Ilmu Tajwid
Lengkap dan Praktis, t.p: Sarana Ilmiah, t.th. hal. 42. Lihat Ahmad Fathoni, Petunjuk Tahsin Tartil Al-Qur’an: Metode Maisura,
Bogor: CV Duta Grafika, 2017, cet. 10, hal. 12. Lihat juga Sa’id bin Sa’d bin Nabhan
al-Hadhrami, Terjemahan Hidayah ash-Shibyan, Jakarta: Munash Press,
2017, cet. 1, hal. 61. Dan Lihat juga Otong Surasman, BBM
Al-Qur’an Metode As-Surasmaniyyah, Jakarta: Gema Insan, 2013, cet. 1, hal.
217.
[19] Sa’id bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan Hidayah
ash-Shibyan, Jakarta: Munash Press, 2017, cet. 1, hal. 61. Lihat juga Otong
Surasman, BBM Al-Qur’an Metode As-Surasmaniyyah, Jakarta: Gema Insan,
2013, cet. 1, hal. 217. Dan lihat juga Muhammad al-Mahmud, Hidayatul
Mustafid: Ilmu Tajwid Lengkap dan Praktis, t.p: Sarana Ilmiah, t.th. hal. 42.
[20] Otong Surasman, BBM Al-Qur’an Metode As-Surasmaniyyah, Jakarta:
Gema Insan, 2013, cet. 1, hal. 218. Lihat juga Sa’id bin Sa’d
bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan Hidayah ash-Shibyan, Jakarta: Munash
Press, 2017, cet. 1, hal. 61. Lihat juga Ahmad Fathoni, Petunjuk
Tahsin Tartil Al-Qur’an: Metode Maisura, Bogor: CV Duta Grafika, 2017, cet.
10, hal. 12.
[21] Sa’id bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan
Hidayah ash-Shibyan, Jakarta: Munash Press, 2017, cet. 1, hal. 62. Lihat
juga Otong Surasman, BBM Al-Qur’an Metode As-Surasmaniyyah, Jakarta:
Gema Insan, 2013, cet. 1, hal. 218. Lihat juga Ahmad Fathoni, Petunjuk
Tahsin Tartil Al-Qur’an: Metode Maisura, Bogor: CV Duta Grafika, 2017, cet.
10, hal. 13. Dan lihat juga Muhammad
al-Mahmud, Hidayatul Mustafid: Ilmu Tajwid Lengkap dan Praktis, t.p: Sarana
Ilmiah, t.th. hal. 43.
[22] Tarqiq merupakan bentuk masdar dari
raqqaqa yang berarti Menipiskan. Sedang yang dimaksud bacaan Tarqiq adalah
menyembunyikan huruf-huruf tertentu dengan suara atau bacaan yang tipis. Pada pengertian itu tampak, bahwa tarqiq menghendaki adanya
bacaan yang tipis, dengan cara
mengucapkan huruf dibibir (mulut) agar mundur sedikit dan tampak agak meringis.
Bacaan Tarqiq terkadang disebut sebagai isim mafulnya yakni muraqqaqah.
[23] Tafkhim merupakan masdar
dari Fakhama
yang berarti menebalkan. Sedang yang disebut dengan bacaan Tafkhim
adalah menyembunyikan huruf-huruf tertentu dengan suara atau bacaan tebal. Pada
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa bacaan tafkhim itu menebalkan huruf
tertentu dengan cara mengucapkan huruf di bibir (mulut) dengan menjorokkan ke
depan, bacaan tafkhim terkadang
disebut isim Maful Mufakhamah.
[24] Sa’id bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan Hidayah
ash-Shibyan, Jakarta: Munash Press, 2017, cet. 1, hal. 59.
[25] Ahmad Fathoni, Petunjuk Tahsin Tartil
Al-Qur’an: Metode Maisura, Bogor: CV Duta Grafika, 2017, cet. 10, hal. 13.
Lihat juga Otong Surasman, BBM Al-Qur’an Metode As-Surasmaniyyah, Jakarta:
Gema Insan, 2013, cet. 1, hal. 218.
[26] Sulaiman al-Jamzury, Syarah Tuhfathul Athfal: Pedoman Tajwid Untuk
Pemula, Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, cet. 3, hal. 5.
[28] Ahmad Fathoni, Petunjuk Tahsin Tartil Al-Qur’an:
Metode Maisura, Bogor: CV Duta Grafika, 2017, cet. 10, hal. 306. Lihat juga
Otong Surasman, BBM Al-Qur’an Metode As-Surasmaniyyah, Jakarta: Gema
Insan, 2013, cet. 1, hal. 207.
[29] Ahmad Fathoni, Petunjuk Tahsin Tartil Al-Qur’an:
Metode Maisura, Bogor: CV Duta Grafika, 2017, cet. 10, hal. 308.
[30] Sulaiman al-Jamzury, Syarah Tuhfathul Athfal:
Pedoman Tajwid Untuk Pemula, Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, cet. 3, hal. 8.
Lihat juga Sa’id bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan Hidayah
ash-Shibyan, Jakarta: Munash Press, 2017, cet. 1, hal. 16. Lihat juga Otong
Surasman, BBM Al-Qur’an Metode As-Surasmaniyyah, Jakarta: Gema Insan,
2013, cet. 1, hal. 217. Lihat juga Ahmad Fathoni, Petunjuk Tahsin Tartil
Al-Qur’an: Metode Maisura, Bogor: CV Duta Grafika, 2017, cet. 10, hal.
310. Dan lihat juga Muhammad al-Mahmud, Hidayatul
Mustafid: Ilmu Tajwid Lengkap dan Praktis, t.p: Sarana Ilmiah, t.th. hal. 18
[31] Sa’id bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan Hidayah ash-Shibyan,
Jakarta: Munash Press, 2017, cet. 1, hal. 21.
[32] Sulaiman al-Jamzury, Syarah Tuhfathul Athfal: Pedoman Tajwid Untuk Pemula,
Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, cet. 3, hal. 13.
[33] Otong Surasman, BBM Al-Qur’an Metode
As-Surasmaniyyah, Jakarta: Gema Insan, 2013, cet. 1, hal. 61.
[35] Abu Muhammad Sufuti al-Zina, Al-Bayan
al-Sadid fi Ahkam al-Qira’at wa al-Tajwid, Kairo: Dar al-Hadis, 2005, hal.
129.
[36] Ahmad Fathoni, Petunjuk Tahsin Tartil Al-Qur’an:
Metode Maisura, Bogor: CV Duta Grafika, 2017, cet. 10, hal. 59.
[37] Sulaiman al-Jamzury, Syarah Tuhfathul Athfal:
Pedoman Tajwid Untuk Pemula, Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, cet. 3, hal. 31.
[38] Sa’id bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan
Hidayah ash-Shibyan, Jakarta: Munash Press, 2017, cet. 1, hal. 38.
[40] Otong Surasman, BBM Al-Qur’an Metode
As-Surasmaniyyah, Jakarta: Gema Insan, 2013, cet. 1, hal. 104.
[41]
Ahmad
Fathoni, Petunjuk Tahsin Tartil Al-Qur’an: Metode Maisura, Bogor: CV
Duta Grafika, 2017, cet. 10, hal. 64.
[42] Sa’id bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan
Hidayah ash-Shibyan, Jakarta: Munash Press, 2017, cet. 1, hal. 38.
[43] Sulaiman al-Jamzury, Syarah Tuhfathul Athfal: Pedoman Tajwid Untuk
Pemula, Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, cet. 3, hal. 33.
[44] Sa’id bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan Hidayah ash-Shibyan,
Jakarta: Munash Press, 2017, cet. 1, hal. 38-39.
[45] Otong Surasman, BBM Al-Qur’an Metode
As-Surasmaniyyah, Jakarta: Gema Insan, 2013, cet. 1, hal. 119.
[46] Sa’id bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan
Hidayah ash-Shibyan, Jakarta: Munash Press, 2017, cet. 1, hal. 40.
[47] Ahmad Fathoni, Petunjuk Tahsin Tartil Al-Qur’an:
Metode Maisura, Bogor: CV Duta Grafika, 2017, cet. 10, hal. 68.
[48] Sulaiman al-Jamzury, Syarah Tuhfathul Athfal:
Pedoman Tajwid Untuk Pemula, Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, cet. 3, hal. 37.
[49] Sa’id bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan
Hidayah ash-Shibyan, Jakarta: Munash Press, 2017, cet. 1, hal. 41.
[50] Ahmad Fathoni, Petunjuk Tahsin Tartil Al-Qur’an:
Metode Maisura, Bogor: CV Duta Grafika, 2017, cet. 10, hal. 68.
[51] Muhammad al-Mahmud, Hidayatul Mustafid: Ilmu Tajwid
Lengkap dan Praktis, t.p: Sarana Ilmiah, t.th. hal. 28.
[52] Sa’id bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan
Hidayah ash-Shibyan, Jakarta: Munash Press, 2017, cet. 1, hal. 42.
[53] Muhammad al-Mahmud, Hidayatul Mustafid: Ilmu Tajwid
Lengkap dan Praktis, t.p: Sarana Ilmiah, t.th. hal. 28.
[54] Ahmad Fathoni, Petunjuk Tahsin Tartil Al-Qur’an:
Metode Maisura, Bogor: CV Duta Grafika, 2017, cet. 10, hal. 64.
[55] Sa’id bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan
Hidayah ash-Shibyan, Jakarta: Munash Press, 2017, cet. 1, hal. 44.
[56]
Sa’id
bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan Hidayah ash-Shibyan,
Jakarta: Munash Press, 2017, cet. 1, hal. 44.
[57]
Muhammad
al-Mahmud, Hidayatul Mustafid: Ilmu Tajwid Lengkap dan Praktis, t.p: Sarana
Ilmiah, t.th. hal. 28.
[58] Sa’id bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan
Hidayah ash-Shibyan, Jakarta: Munash Press, 2017, cet. 1, hal. 45.
[59] Sa’id bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan
Hidayah ash-Shibyan, Jakarta: Munash Press, 2017, cet. 1, hal. 50. Lihat
juga Otong Surasman, BBM Al-Qur’an Metode As-Surasmaniyyah, Jakarta:
Gema Insan, 2013, cet. 1, hal. 213.
[60] Sa’id bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan
Hidayah ash-Shibyan, Jakarta: Munash Press, 2017, cet. 1, hal. 51.
[61] Ahmad Fathoni, Petunjuk Tahsin Tartil Al-Qur’an:
Metode Maisura, Bogor: CV Duta Grafika, 2017, cet. 10, hal. 90.
[62] Sa’id bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan Hidayah
ash-Shibyan, Jakarta: Munash Press, 2017, cet. 1, hal. 52. Lihat juga Ahmad Fathoni, Petunjuk Tahsin Tartil Al-Qur’an: Metode Maisura,
Bogor: CV Duta Grafika, 2017, cet. 10, hal. 90.
[64] Sa’id bin Sa’d
bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan Hidayah ash-Shibyan, Jakarta: Munash
Press, 2017, cet. 1, hal. 53.
[65] Ahmad Fathoni, Petunjuk Tahsin Tartil Al-Qur’an: Metode Maisura, Bogor:
CV Duta Grafika, 2017, cet. 10, hal. 91.
[66] Sa’id bin Sa’d bin Nabhan al-Hadhrami, Terjemahan Hidayah
ash-Shibyan, Jakarta: Munash Press, 2017, cet. 1, hal. 54. Lihat juga Ahmad Fathoni, Petunjuk
Tahsin Tartil Al-Qur’an: Metode Maisura, Bogor: CV Duta Grafika, 2017, cet.
10, hal. 91.
Baca juga: I'Jaz Al-Qur'an
0 Comments