A. Madrasah Antara Globalisasi dan Budaya
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia lahir dan
berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Madrasah
tersebut telah mengalami perkembangan jenjang dan jenisnya seirama dengan
perkembangan bangsa Indonesia sejak awal perkembangan Islam, masa penjajahan
dan masa kemerdekaan. Perkembangan tersebut telah mengubah pendidikan dari
bentuk awal seperti pengajian dirumah-rumah, musholla, masjid dan pesantren
menjadi lembaga formal sekolah seperti madrasah yang kita kenal saat ini tanpa
menghilangkan bentuk-bentuk yang semua ada (Maksun, 1999: 60). Namun masih ada
juga sebagian masyarakat melihat madrasah hanya sebatas lembaga madrasah kuno
yang mengajarkan seseorang untuk beribadah yang benar, berkelakuan baik dan
beragama dengan tekun, dan pada akhirnya madrasah hanya dipandang sebagai
lembaga kedua yang tidak berguna dan tidak mendukung masa depan.
Menurut Fajar (1999: 10) pengetahuan bahwa madrasah merupakan
realitas pendidikan yang menampung aspirasi sosial, budaya dan agama. Penduduk
Indonesia yang memeluk agama Islam, yang secara kultural berakar kuat pada
kelompok masyarakat yang disebut santri, sehingga masyarakat menjatuhkan
pilihannya pada madrasah sebagai wahana pendidikan putra-putrinya tentu dengan
dorongan yang berbeda-beda. Akan tetapi secara umum kolektif, dorongan tersebut
mencerminkan komitmen keagamaan yang kuat.
Ahmed dan Hastings Donnan dalam Azizy (2004: 19), mengungkapkan
bahwa globalisasi diartikan sebagai perkembanganperkembangan yang relatif
sangat cepat didalam teknologi komunikasi, transformasi dan informasi yang bisa
membawa bagian-bagian dunia yang jauh menjadi hal-hal yang dapat dijangkau
dengan mudah.
Fenomena globalisasi berlangsung sejak akhir tahun 1990-an dan awal
tahun 1990-an, dan tampaknya masih akan terus berlangsung dalam waktu yang
belum dapat ditentukan. Pendek kata, dunia ini telah berubah menjadi layaknya
sebuah kampung global. Merebaknya globalisasi dapat ditengarai sebagai
kemenangan peradaban barat yang ditulangpunggungi oleh masyarakat kulit putih
di Amerika Serikat (AS) dan Eropa Barat, atas semua masyarakat lainnya. (Ahmed,
1996: 110).
Globalisasi dalam perspektif masyarakat Islam, merupakan ancaman
dan sekaligus tantangan. Sebagai ancaman karena dengan alat komunikasi seperti
TV, para bola, telepon, VCD, DVD dan internet, kita (orang Islam) dapat
berhubungan dengan dunia luar. Dengan sarana seperti parabola dan internet,
kita dapat menyaksikan hiburan porno dikamar tidur. Kita dapat terpengaruh
dengan aneka macam iklan yang mengajak pada pola perilaku konsumtif. Anak-anak
dapat terpengaruh dengan tayangan film anak-anak, seperti kartun yang sarat
dengan kekerasan, dan tidak pantas untuk ditonton (Azizy 2004: 23).
Melihat uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa, globalisasi
menimbulkan ancaman yang serius terhadap keberagamaan umat Islam, antara lain :
pendangkalan akidah dan kerusakan moral, terutama gaya hidup yang cenderung
bebas, misalnya pergaulan bebas (free
sex), kumpul kebo (samenlevel),
dan terjerat oleh narkoba (narkotika dan obatobatan terlarang). Sedangkan
sebagai tantangan maksudnya bahwa dalam globalisasi tidak semua nilai budaya
barat bersifat negatif. Tentu ada nilai-nilai positif yang dapat direspon oleh
umat Islam seperti sikap disiplin, penghargaan terhadap orang lain, kompetensi,
kerja keras dan lain sebagainya.
Budaya secara terminologi, menurut Edward B. Taylor dalam bukunya Primitive Culture sebagai mana dikutip
oleh H.A.R Tilaar (1998: 39), beliau mendefinisikan budaya sebagai berikut :
Budaya atau peradaban adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum adat-istiadat, serta kemampuankemampuan dan
kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Nilai-nilai budaya ini merupakan pusat inti dari budaya. Nilai-nilai
budaya ini yang menentukan sifat dan corak dari pikiran, cara berfikir serta
tingkah laku manusia suatu budaya. Gagasan-gagasan inilah yang akhirnya
menghasilkan berbagai benda yang diciptakan manusia berdasarkan nilai-nilai
pikiran dan tingkah lakunya (Sulaiman, 1995: 13).
Poerwadarminto (1991: 250), berpendapat bahwa Inti dari setiap
kebudayaan adalah manusia, dengan kata lain kebudayaan adalah khas insani,
kebudayaan merupakan suatu proses pemanusiaan, artinya dalam kehidupan
berbudaya terjadi perubahan, perkembangan, motivasi. Di dalam proses
pemanusiaan tersebut yang penting bukan hanya prosedur dan teknologi tetapi
jangan dilupakan isi atau materi dari perubahan dan perkembangan. Jadi proses
pendidikan bukan terjadi secara pasif tetapi melalui proses yang interaktif
antara subjek dan obyek pendidikan. Proses tersebut memungkinkan terjadinya
perkembangan budaya melalui kemampuan-kemampuan kreatif yang memungkinkan
terjadinya enovasi dan penemuan budaya-budaya lainnya.
B.
Peran Madrasah Dalam Menghadapi Arus Budaya Dan Globalisasi
Akhir abad ke-20 dan memasuki Millennium ketiga ke-21 M, masyarakat
di planet bumi ini mengalami gelombang globalisasi yang ditandai oleh derasnya
arus informasi yang menjangkau keseluruh penduduk di manapun mereka berada.
Dengan demikian globalisasi dapat menjadi ancaman sekaligus tantangan bagi
masyarakat muslim. Lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam
dihadapkan pada tantangan guna mengantisipasi arus budaya global sehingga tidak
menghancurkan sendi-sendi keberagamaan masyarakat muslim.
Madrasah sebagai bagian dari lembaga pendidikan Islam ikut memikul
beban yang tidak ringan dalam rangka mengantisipasi arus budaya global
tersebut. Namun sebelum mengkaji peran madrasah tersebut, perlu kiranya terlebih
dahulu memahami globalisasi dan arus budaya yang ditimbulkanya, serta sistem
pendidikan yang ada di madrasah, dan eksistensi madrasah dalam menerapkan
Sumber Daya Manusia (SDM), upaya meningkatkan mutu madrasah, sehingga bisa
mencermati peran yang bisa dimainkan di madrasah.
Lembaga pendidikan yang disebut dengan madrasah diharapkan dapat
melahirkan generasi muda muslim yang utuh, tidak terpecah kepribadiannya (split personality), yang beriman,
berilmu dan berakhlak mulia. Setidaknya ada lima peran yang bisa dikembangkan
oleh madrasah dalam melahirkan generasi muslim, yakni :
1.
Sebagai media
sosialisasi nilai-nilai ajaran agama Islam
2.
Sebagai
pemeliharaan tradisi keagamaan dalam lingkup masyarakat muslim.
3.
Sebagai wadah
untuk membentuk akhlak dan kepribadian generasi muda muslim.
4.
Sebagai benteng
moralitas bangsa yang kini tengah mengalami krisis kemerosotan (dekadensi) moral yang luar biasa.
5.
Sebagai lembaga
pendidikan alternatif yang dapat dipilih oleh orang muslim (Rahim, 2001 :
32-34).
Peran ideal bagi madrasah guna mengantisipasi arus budaya global
yang intinya berisi budaya barat dengan akses negatif seperti sikap dan pola
hidup yang materialis, sekuler, konsumtif, serta gaya hidup yang cenderung
bebas dan tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Penulis memandang bahwa lima peran madrasah dalam kerangka
menghasilkan generasi muda muslim yang paripurna, apabila dapat dilaksanakan
secara optimal, maka akan melahirkan generasi muda muslim yang arif, tidak
terpecah, gagap, gugup dan gundah dalam menghadapi arus budaya global. Mereka
yang semacam inilah yang diperkirakan akan dapat mengantisipasi arus budaya
global yang dibawa oleh globalisasi.
Modernisasi dan industrialisasi berimplikasi pada terbentuknya
suatu tatanan masyarakat yang
hedonis-materialistis yaitu suatu
tatanan masyarakat yang mengedepankan kebahagiaan indrawi dan kebebasan
individu yang tidak mengenal batas kewajaran dengan nafsu sebagai muaranya yang
sangat merendahkan nilai-nilai kemanusiaan (humanistis), suatu tatanan
masyarakat yang menyampingkan nilai-nilai moral sebagai sumbu hidup dan
kehidupan: dekadensi moral. Sebab itu, diperlukan suatu upaya pembenahan yang
mengarah kepada kemajuan dan perkembangan guna tercapainya kesejahteraan
manusia secara utuh atau humanis (lihat selengkapnya dalam Budi Susilo,
Ed. Johanes Mardimin, Jangan
Tangisi Tradisi : Transpormasi Budaya
Menuju Masyarakat Indonesia Modern,Yogyakarta:
Kanisius, 1994, 71).
Dalam upaya pembenahan dan penanggulangan keadaan dengan
pengharapan keluar dari dilema yang menghawatirkan dan membahayakan itu :
hedonis-materialistis, menurut Poespowardojo (1989: 6) diperlukan suatu dasar
yang kokoh sebagai landasan berpijak dalam segala kegiatan yang dilaksanakannya,
yaitu suatu orientasi yang mampu memberikan arah yang jelas serta ukuran yang
wajib ditaati, yang memberikan makna dan arti bagi upaya tersebut sehingga
dapat dinilai sebagai baik, layak, dan luhur,
untuk dapat memberikan kritik dan evaluasi terhadap realitas faktual
yang disodorkan melalui sensedata.
Sebagai sebuah pegangan hidup yang mengandung ajaran tentang tata
nilai, agama memberikan motivasi hidup dan penghidupan serta merupakan alat
pengembangan dan pengendalian diri yang amat penting yang berpungsi
sebagai penentu dalam
perkembangan dan pembinaan
rasa kemanusiaan yang adil dan
beradab. Oleh karena itu agama perlu diketahui, dipahami, diyakini dan
diamalkan oleh manusia Indonesia agar dapat menjadi dasar kepribadian sehingga
menjadi manusia yang utuh.
Pendidikan agama di Madrasah sangat penting artinya dalam rangka
membentuk kepribadian dan
pola pikir anak
didik (peserta didik). Pendidikan agama di Madrasah tidak
lepas dari pendidikan yang dilakukan di keluarga dan di masyarakat. Globalisasi
informasi yang terus bergerak dan berjalan tanpa henti banyak berakibat membawa
pada dekadensi moral masyarakat: pola hidup permisif, pornografi, alkohol dan
lain-lain, yang mengedepankan nilai materialbiologis. Petaka yang diimplikasikan
oleh derasnya (globalisasi) teknologi-informasi tersebut adalah adanya desakan-
desakan berbagai kebudayaan--dalam hal ini kebudayaan Barat--yang terus
menggerus kebudayaan ataupun norma yang telah ada. Akan hal tersebut, dalam membahas
dekadensi moral
yang telah masuk
dalam relung kehidupan
masyarakat, yaitu budaya hidup permisif adalah budaya atau pola hidup serba
boleh, dengan dalih hak privasi, hak individu, maupun hak asasi manusia.
Perbedaan mendasar visi
pendidikan keagamaan dengan
pendidikan umum di Madrasah adalah terletak pada character building. Agama atau pendidikan agama menekankan arah
pendidikan kepada pembentukan akhlaqul
karimah, budi pekerti mulia. Pendidikan agama kedepan akan menuju ke target
ini, sehingga akan
memberikan konsekwensi logis
ujian untuk materi PAI pembobotannya
bukan kepada soal-soal ujian yang berhasil dijawab atau berapa nilai yang
diperoleh dalam ujian, tetapi pada penilaian sikap dan tingkah laku peserta
didik dalam kehidupan sosialnya, baik di Madrasah, di rumah, maupun di
masyarakat.
Visi Pendidikan agama yang sudah mulai kehilangan arah ini rupanya
mulai kita sadari dengan maraknya kenalakan remaja, tawuran, kasus narkoba,
samapi kriminalitas di kalangan remaja usia Madrasah. Meskipun terlambat,
tetapi upaya-upaya mengembalikan visi ini pada jalannya perlu kita berikan
dukungan, dengan ikut serta memikirkan bagaimana aplikasi konsep pendidikan
budi perkerti dengan maksimal dan berkelanjutan. Ataupun ikut memberikan
sumbang saran, mungkin kritikan, bagaimana implementasi pendidikan agama
berbasis budi pekerti dan hak asasi manusia. Diharapkan konsep-konsep ini tidak
sekedar konsep hitam diatas putih, yang harus dikuasai dan dihafalkan karena
nanti akan keluar dalam ujian, tetapi dapat mewarnai cara
berfikir, menentukan sikap,
pencarian jati diri,
dan kepribadian anak-anak bangsa, sebagai pewaris generasi.
Madrasah hidup dan matinya ditentukan oleh masyarakat dimana
Madrasah itu ada. Mungkin terlalu ekstrim, tetapi kenyataan di lapangan,
sebagian besar Madrasah
berangkat dari inisiatif
kelompok masyarakat untuk mencari
format pendidikan ideal bagi anak-anak mereka, kemudian mereka secara bergotong
royong mengumpulkan potensi sumberdana di masyarakat, sambil
mencari celah-celah bantuan
pemerintah . Berbeda dengan Madrasah umum seperti SD atau
SLTP, mayoritas didirikan oleh pemerintah.
Dengan keterkaitan yang kuat ini, Madrasah di beberapa daerah menajadi basic of cultural change, dimana
alumni-alumni Madrasah kemudian mewarnai masyarakat sekitarnya.
Perlu menjadi bahan
pemikiran, bahwasanya Madrasah merupakan community based education, karena dia betul-betul berangkat dari
masyarakat, dan dihidupi
oleh masyarakat. Data
membuktikan, bahwasannya Madrasah yang dikelola pemerintah tidak lebih
dari 7 % saja, artinya mayoritas Madrasah
kita memang madiri.
Ada atau tidak
ada bantuan pemerintah, dia tetap saja berjalan. Kemandirian ini perlu
didukung langkah-langkah strategis untuk penguatan basis-basis kemandirian
seperti ekonomi dan sosialnya.
Dari segi ekonomi, perlu dipikirkan sumberdana mandiri yang dapat
dikelola dan dikembangkan Madrasah untuk menunjang proses “kehidupannya” dan
pengembangannya. Misalnya dengan memberikan stimulan untuk mendirikan unit-unit
usaha seperti pertokoan, koperasi, penggilingan padi, sawah, tambak, dan
lainnya dengan model yang disesuaikan dengan masyarakat dimana Madrasah dapat
mengembangkan unit usaha tersebut. Hal ini bisa diwujudkan jika kerjasama
lintas sektoral dapat diaplikasikan sampai ke level yang paling bawah.
Sebagai contoh, Misalnya,
pemerintah daerah memiliki
program pengembangan ekonomi
kerakyatan, Departemen Koperasi memiliki bantuan modal usaha kecil dan
menengah, Departemen Pertahanan punya program nasional Bulan Bhakti, Departemen
Sosial memiliki sumberdana bantuan Jaring Pengaman Sosial, Departemen
Pendidikan punya Bantuan Pendidikan Berbasis masyarakat, Departemen Agama punya Bantuan Operasional
Madrasah, Departemen kesehatan membantu perbaikan gizi anak Madrasah, dan
seterusnya, kemudian dikoordinasikan untuk menggarap obyek secara terpadu. Diharapkan komite Madrasah
atau dewan Madrasah, apabila dapat melakukan fungsinya secara maksimal
mengkondisikan hal tersebut melalui pemerintah daerah. Lalu perlukan dibuat
kelompok kerja terpadu?
Madrasah dari segi sosial, dapat diberdayakan dengan meningkatkan
fungsi hubungan masyarakat dengan program Bhakti Sosial, Palang Merah Remaja,
Jum’at bersih, Perkemahan Akhir Pekan,
Studi Excursi, Magang di industri rakyat, pertukaran siswa, bahkan
peningkatan fungsi Dewan Madrasah dan Dewan Pendidikan di level Kabupaten/Kota.
Pekerjaan serius berikutnya adalah membentuk lingkungan Madrasah
yang kondusif untuk mewujudkan visi pendidikan Madrasah “Character Building”. Sebab hakekatnya pendidikan itu adalah proses,
menjadikan input (siswa) Madrasah menjadi manusia yang berpotensi dengan basis akhlaq yang kuat. Apa
yang bisa dilakukan
ketika menciptakan lingkungan
yang agamis, religius dan
penuh nilai, jika dukungan masyarakat belum terwujud, dan sumberdaya manusia
pengelola pendidikan di Madrasah tersebut belum siap dengan tuntutan zaman.
Yusuf (2006: 84) berpendapat bahwa pendidikan Islam Indonesia
merupakan sub-sistem pendidikan nasional, namun hal ini tidak berarti
pendidikan Islam Indonesia tidak memiliki peluang dan dilarang menyusun dan
mengembangkan jati dirinya, dan harus “hanyut” dalam sistem pendidikan
nasional; justru tampil dengan jati diri yang mantap. Pendidikan Islam
Indonesia dapat menjalankan baik dan berharga kepada sistem pendidikan
nasional. Dalam rangka menyelamatkan keterpurukan bangsa dan Negara ini.
C.
KESIMPULAN
Madrasah menempati posisi yang unik dan sangat penting bagi
masyarakat muslim. Sebagai salah satu komponen dari lembaga pendidikan Islam,
madrasah mengemban tugas yang berat untuk mengintegrasikan ilmuilmu agama Islam
dengan ilmu-ilmu umum. Tugas ini bukanlah tugas yang ringan. Jika tugas di atas
mampu dilaksanakan secara maksimal, maka madrasah diharapkan akan dapat
melahirkan generasi muda muslim yang arif dan paripurna dalam hal keimanan,
keilmuan dan akhlak mulia.
Generasi muda yang arif ini dipandang memiliki kepribadian utuh
dengan memadukan tiga potensi kemanusiaan sekaligus, yakni IQ, EQ dan SQ. Hanya
dari jenis manusia muslim yang arif yang dianggap paling dapat mengantisipasi
arus budaya Barat yang dibawa serta oleh globalisasi. Di sinilah tantangan berat
yang harus dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam, dalam hal ini madrasah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam:
Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru, Logos, hal. 117-119
Fajar, Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas (Bandung: Mizan, 1999).
Maksun, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999).
Nasution, Yunan, Islam dan Problema-Problema Kemasyarakatan,
Jakarta
Bulan Bintang,1988, Cet. ke-1
Nata, Abudin, Manajemen
Pendidikan, (Bogor: Kencana, 2003), 146 Poerwadarminto, W.J.S., Kamus Umum Bahasa (Jakarta: Balai
Pustaka, 1991).
Poespowardojo, Soerjanto, Strategi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Filosofis. Jakarta: PT. Gramedia, 1989
Rais, Amin, et. al, Sosial
Issues in Shoutheast Asia, kompilasi
hasil
Workshop, editor : Sharom Ahmad dan
Sharon Shoddque ,
Institute of Shoutheast Asian Studies, 1987
Sulaiman, M. Munandar, Ilmu
Budaya Dasar Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Eresco, 1995).
Susilo, Budi Ed. Johanes Mardimin, Jangan
Tangisi Tradisi :
Transpormasi Budaya Menuju
Masyarakat Indonesia Modern, Yogyakarta: Kanisius, 1994
Tadjab, Perbandingan Pendidikan, Surabaya: Karya Abditama, 1994 cet ke
I,
Tilaar, H.A.R. Pendidikan,
Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia (Jakarta: PT Remaja Rosdakarya,
Bandung).
Yusuf, Choirul Fuad, Revitalisasi
Madrasah, (Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang
Diklat Depertemen Agama RI, 2006).
0 Comments