header ads

Jurnal Bacaan Al-Qur'an Berdasarkan Imam Hafsh 'An 'Ashim Thariq Asy-Syathibiyyah



Bacaan Al-Qur’an Berdasarkan Imam ‘Ashim Riwayat Hafsh Thariq Asy-Syathibiyyah

Dede Sulaeman
Institut PTIQ, sulaiman1028@gmail.com
Abstract: This paper discusses reading the Qur'an based on Imam 'Ashim History of Hafsh Tariq As-Syathibiyyah because many Muslims do not know the Al-Qur'an reading using Imams, History and Tariq (Road) especially Muslims who are in Indonesia in this day and age, who generally consider it normal to this greatest miracle, the Qur'an. Yet to get the revelation of the Qur'an, it takes a very long time and getting it is not easy through the process of enduring the Messenger of Allah, peace be upon him during some Ramadhan in the Cave of Hira. Next, the Qur'an decreases gradually for 23 years, 13 years from the Mecca period and 10 years from the Medina period, which illustrates the lengthy time of the Qur'an's descent. Indonesia is a country where the majority of the population embraces Islam. This country when compared to other countries in the world, is the largest Muslim country. There is no country in the world where the number of Muslims is equal to the number of Muslims in Indonesia. In this archipelago, in huts, surau-surau, pesantren-pesantren, rangkang (name of the level of junior teaching), meunasah-meunasah and madrassas there are efforts to learn the Qur'an and even memorize the Qur'an . In Indonesia, the recitation of the Qur'an that is often used is Imam Hafsh 'An' Ashim Thariq Asy-Syathibiyyah because reading according to Imam Hafsh is easier because Farshul Letters do not change and are in accordance with writing, but only slightly change from reading Al- Qur'an besides Imam Hafsh.

Keywords: Imam Hafsh from ‘Ashim, Al-Qur'an Reading, Tariq As-Syathibiyyah
Abstrak: Tulisan ini membahas tentang bacaan Al-Qur’an berdasarkan Imam ‘Ashim Riwayat Hafsh Thariq As-Syathibiyyah dikarenakan banyak kaum muslimin tidak mengetahui bacaan Al-Qur’an memakai Imam, Riwayat dan Thariqnya (Jalan) khususnya kaum muslimin yang berada di Indonesia di zaman sekarang ini, yang pada umumnya menganggap hal biasa saja terhadap mu’jizat yang terbesar ini yaitu Al-Qur’an. Padahal untuk mendapatkan wahyu Al-Qur’an tersebut, memakan waktu yang sangat lama dan mendapatkannya tidak mudah melalui proses tahanuts Rasulullah saw selama beberapa Ramadhan di Gua Hira. Yang selanjutnya, Al-Qur’an turun berangsur-angsur selama 23 tahun, 13 tahun periode Makah dan 10 tahun periode Madinah, menggambarkan waktu yang Panjang proses turunnya Al-Qur’an. Indonesia adalah negara yang penduduknya mayoritas memeluk Agama Islam. Negara ini bila dibandingkan dengan negara-negara di dunia, merupakan negara yang terbesar umat Islamnya. Tidak ada sebuah negara pun di dunia ini yang jumlah umat Islamnya menandingi jumlah umat Islam di Indonesia. Di negara Nusantara ini, di pondok-pondok, surau-surau, pesantren-pesantren, rangkang-rangkang (nama tingkatan pengajaran junior), meunasah-meunasah dan madrasah-madrasah terdapat usaha mempelajari Al-Qur’an bahkan menghafal Al-Qur’an. Di Indonesia bacaan Al-Qur’an yang sering digunakaan adalah Imam Hafsh ‘An ‘Ashim Thariq Asy-Syathibiyyah dikarenakan bacaan menurut Imam Hafsh itu lebih mudah karena Farshul Huruf tidak berubah dan sesuai dengan tulisan, akan tetapi sedikit saja perubahannya dari pada bacaan Al-Qur’an selain Imam Hafsh.
Kata Kunci: Imam Hafsh dari ‘Ashim, Bacaan Al-Qur’an, Thariq As-Syathibiyyah
PENDAHULUAN
Al-Qur’an diturunkan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan Malaikat Jibril as, yang tertulis dalam mushaf, yang dimulai dari surah al-Fatihah dan di akhiri surah an-Naas, yang dinukil mutawatir, dan merupakan ibadah bagi yang membacanya, dan pada hakikatnya bertujuan untuk dijadikan petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia agar dalam menempuh hidup ini mendapatkan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Di dalam kitab suci Al-Qur’an tidak ada keraguan, ia merupakan bimbingan yang lurus untuk memberi peringatan akan siksa yang sangat pedih dari sisi Allah swt dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman yang mengerjakan amal shaleh, bahwa mereka akan mendapatkan pembalasan yang baik. Di samping itu, Al-Qur’an diturunkan untuk mengeluarkan manusia dari gelap gulita (kekafiran) kepada cahaya yang terang benderang (keimanan).
Al-Qur’an untuk dijadikan pedoman hidup, tidak cukup hanya dibaca saja. Akan tetapi, diperlukan pemahaman terhadap teks bacaan Al-Qur’an agar dapat memahami pesan-pesan yang dikandungnya. Tanpa pemahaman yang cukup terhadap teks Al-Qur’an yang dibaca, maka tidak mungkin Al-Qur’an tersebut dapat menjadi pedoman hidup bagi manusia. Di sini dapat dipahami bahwa harus ada keseriusan antara membaca Al-Qur’an dan pemahaman terhadap isi kandungan Al-Qur’an, yang dengan istilah lain dapat dikatakan berdialog dengan Al-Qur’an atau berinteraksi dengan Al-Qur’an.
Penelitian pada penulisan ini termasuk ke dalam jenis penelitian yang menggunakan kualitatif, bukan kuantitatif. Pendekatan kualitatif digunakan bila ada data yang hendak dikumpulkan adalah data kualitatif, yaitu data yang disajikan dalam bentuk kata atau kalimat. Penelitian kuantitatif sangat mengutamakan kualitas data, sehingga dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan analisis statistik.
Untuk menjaga keutuhan bacaan Al-Qur’an, di samping secara rutin harus selalu berusaha membaca Al-Qur’an, juga harus tetap meluangkan waktu untuk tatap muka dengan para guru ahli Al-Qur’an langsung. Ini adalah proses awal agar mampu menyelami dan mendalami isi kandungan Al-Qur’an, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu, khususnya yang diajarkan oleh Rasulullah saw, kepada para sahabatnya, demikian pula seterusnya kepada generasi berikutnya, sampai kepada generasi saat ini.

Selain itu, Al-Qur’an juga berfungsi sebagai pembeda antara yang benar dan yang bathil. Sebagai petunjuk dalam kehidupan umat Islam, Al-Qur’an tidak hanya cukup dibaca dengan suara yang indah dan fasih, tetapi harus mengetahui itu bacaan Imam, Riwayat dan Thariqnya. Al-Qur’an tidak boleh dibiarkan begitu saja sebagai koleksi atau apapun, tanpa penjagaan dan pemeliharaan yang serius dari umatnya. Umat Islam berkewajiban memeliharanya, antara lain dengan membaca (At-Tilawah), menulis (Al-Kitabah), menghafal (At-Tahfidz), dan yang lebih penting lagi adalah bacaan dari Imam, Riwayat dan Thariqnya sehingga wahyu tersebut senantiasa terpelihara dari perubahan, baik huruf maupun susunan kata-katanya.

TINJAUAN PUSTAKA

Sejauh pengetahuan penulis, belum banyak penelitian ilmiah yang berkenaan dengan Bacaan Al-Qur’an berdasarkan Imam ‘Ashim Riwayat Hafsh Thariq Asy-Syathibiyyah. Yang ada hanya penjelasan dari sisi ilmu tajwid secara umum, tidak terkait secara khusus. Pembahasan secara rinci yang berkaitan dengan bacaan Al-Qur’an berdasarkan Imam ‘Ashim Riwayat Hafsh Thariq Asy-Syathibiyyah.

Dalam ilmu Qira’at, ada sepuluh Imam Qira’at yang sangat masyhur. Bacaan mereka disepakati oleh ulama qira’at sebagai bacaan mutawatir. Artinya, bacaan yang betul-betul asli berasal dari Nabi Muhammad dari Malaikat Jibril dari Allah SWT. Sepuluh Imam Qira’at tersebut ialah (1) Nafi’ bin Abi Nu’aim Al-Ashbihani, (2) Ibn Katsir, Abdullah bin Katsir Al-Makki, (3) Abu ‘Amr, Zaban bin Al-‘Ala’, (4) Ibn ‘Amir Abdullah bin ‘Amir As-Syami, (5) ‘Ashim bin Abi An-Najud, (6) Hamzah bin Habib Az-Zayyat, (7) Al-Kisa’I, Ali bin Hamzah, (8) Abu Ja’far, Yazid bin Al-Qa’qa’, (9) Ya’qub Al-Hadhrami, dan (10) Khalaf Al-Bazzar (Al-Bazzaz). Setiap Imam mempunyai banyak murid. Di antara mereka ada murid-murid kenamaan yang sangat mahir meriwayatkan bacaan Al-Qur’an dari Imam mereka atau murid-muridnya.

Sedangkan bilamana ditinjau dari tempat pelaksanaan penelitian, maka penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kepustakaan (library research), bukan penelitian laboratorium maupun penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan jenis-jenis materi yang terdapat dalam kepustakaan. Sebagai contoh study ilmu Al-Qur’an, kitab-kitab qira’at, kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits, kitab-kitab fiqh, majalah, naskah-naskah, sejarah, dokumen, jurnal dan lain-lain. Yang mana pada hakikatnya, data-data yang didapat dengan jalan penelitian kepustakaan dijadikan dasar atau alat utama bagi analisis praktek penelitian.

PEMBAHASAN

A. Karakteristik Bacaan Al-Qur’an Bedasarkan Imam ‘Ashim Riwayat Hafsh Thariq Asy-Syathibiyyah

Setiap umat Islam yang membaca Al-Qur’an tentunya selalu mengharapkan agar Al-Qur’an yang dibaca setiap hari memberi manfaat yang banyak. Mendapatkan pahala, menenteramkan hati, menjadi teman di alam kubur, juga menjadi syafaat (penolong) di hari akhir.
Bagi siapa pun yang mempelajari Al-Quran secara mendalam maka pasti ia pernah mendengar istilah Qira'at Sab'ah, atau Qira'at 'Asyrah, yang kurang lebih bermakna tujuh atau sepuluh bacaan Al-Quran yang diakui dan memiliki sanad bersambung sampai kepada Rasulullah saw. Biasanya, dalam kajian tentang qira'at ini akan muncul empat istilah kunci. Sebagian orang terkadang sukar membedakannya, dan kemudian tercampur-aduk begitu saja. Empat istilah tersebut adalah qira'ah, riwayah, thariq dan wajh. Para ulama sendiri mempergunakan keempat istilah ini untuk menunjuk pengertian tertentu, sehingga harus dipahami dengan tepat agar tidak membingungkan.
Untuk mendapatkan semuanya dalam kaitan membaca Al-Qur’an maka agar lebih sah dan sempurna bacaan Al-Qur’an, diwajibkan setiap muslim mengetahui bacaan Al-Qur’an melalui jalur periwayatan membaca Al-Qur’an yang resmi dan sah. Dalam hal ini adalah bacaan Al-Qur’an yang mengacu kepada riwayat Hafsh ‘an ‘Ashim Thariq Asy-Syathibiyyah.

Thariq ialah suatu bacaan yang dinisbahkan kepada orang yang memindahkan bacaan riwayat rawi baik langsung maupun tidak. Keadaan inilah menyebabkan adanya istilah riwayat Warsy Thariq Al-Azraq, riwayat Hafsh Thariq Ubaid dan lain-lain sebagai thariq langsung. Sedangkan Thariq tidak langsung seperti riwayat Hafsh, riwayat Warsy dan lain-lain dalam Thariq Asy-Syathibiyyah atau Thariq Thayyibatunnasyrn dan lain-lain. Disebut Thariq tidak langsung karena baik Imam Asy-Syathibi dengan kitab Asy-Syathibiyyah atau Imam Ibnu Jazari dengan kitabnya Thayyibatunnasyr menerima cara-cara bacaan riwayat tersebut tidak langsung dari rawi melainkan melalui perantaraan orang yang ahli sebelumnya.
Dalam perjalanan waktu, dari seleksi ilmiah dan alamiah, muncul nama-nama yang akhirnya dijadikan referensi yang sangat valid dan sangat dipercaya sebagai bacaan yang merefleksikan bacaan Imam-imam Qira’at di atas. Mereka yang disebut para perawi dari Imam Sepuluh adalah Nafi’, kedua perawinya: Qalun dan Warsy; Ibn Katsir: Al-Bazi dan Qumbul; Abu ‘Amr: Ad-Duri dan As-Susi; Ibn ‘Amir: Hisyam dan Ibn Dzakwan; ‘Ashim: Syu’bah dan Hafsh; Hamzah: Khalaf dan Khallad; Al-Kisa’i: Abu Al-Harits dan Ad-Duri Al-Kisa’I; Abu Ja’far: Ibn Jammaz dan Ibn Wardan; Ya’qub: Rauh dan Ruwais; Khalaf: Ishaq dan Idris.

Dari sekian perawi itu, kita akan membicarakan Imam Hafsh perawi utama Imam ‘Ashim. Siapa beliau dan mengapa qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh begitu masyhur di dunia Islam.

Sanad (runtutan periwayatan) Imam Hafsh dari Imam ‘Ashim berujung kepada sahabat Ali bin Abi Thalib. Sementara bacaan Syu’bah bermuara kepada sahabat Abdullah bin Mas’ud. Hal tersebut dikemukakan sendiri oleh Hafsh ketika beliau bertanya kepada Imam ‘Ashim, kenapa bacaan Syu’bah banyak berbeda dengan bacaannya, padahal sama-sama berguru kepada Imam satu, yaitu ‘Ashim.
Riwayat ialah bacaan yang dinisbahkan kepada seorang yang meriwayatkan bacaan seorang Imam dari para Imam Qira’at. Masing-masing dari Imam Qira’at memiliki dua rawi. Masing-masing rawi memiliki periwayatan dari sang Imam sehingga dengannya rawi menjadi dikenal dan dinisbahkan kepadanya. Keadaan inilah yang menyebabkan terdengar adanya istilah Riwayat Hafsh dari ‘Ashim, Riwayat Warsy dari Nafi’ dan lain-lain.
Lalu ‘Ashim menceritakan tentang runtutan sanad kedua perawi tersebut. Inilah runtutan riwayat Hafsh: Hafsh-‘Ashim dari Abu Abdurrahman As-Sulami dari Ali bin Abi Thalib dari Nabi Muhammad saw. Sementara runtutan periwayat Syu’bah adalah Syu’bah dari ‘Ashim dari Zirr bin Hubaisy dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi Muhammad saw.

Tidak ada bacaan shilah mim jama’ sebagaimana apa yang kita lihat pada bacaan Qalun dan Warsy. Bacaan shilah membutuhkan kecermatan bagi pembaca, mengingat bacaan ini tidak ada tanda tertulisnya.
Wajh adalah secara bebas dapat dimaknai versi atau ragam, yaitu semua bentuk perbedaan atau khilafiyah yang diriwayatkan dari qari' tertentu, lalu dalam kasus ini seseorang dipersilahkan untuk memilih mana yang akan dibacanya, karena semuanya shahih dari qari' tersebut, perbedaan-perbedaan thariq terkadang mencakup perbedaan-perbedaan pula dalam wajh ini. Misalnya pada saat waqaf pada kata al-'alamin dalam ayat ke-2 surat Al-Fatihah terdapat tiga wajh atau versi, dibaca pendek (qashr), sedang (tawassuth) dan panjang (mad). Kita boleh memilih mana saja dari ketiganya, namun disarankan oleh Ibnul Jazari (salah seorang ulama terkemuka dalam bidang qira'at) agar kita memilih satu versi saja dalam satu kali pengkhataman. Maksudnya, pada seluruh kata tersebut di mana pun kita waqaf selama membacanya, kita pilih satu versi. Bila kita sudah selesai, lalu memulai dari awal lagi, kita boleh menggunakan versi lainnya.

Dengan demikian, bacaan Al-Quran yang dinisbatkan kepada seorang imam tertentu disebut qira'at, lalu apa yang dinisbatkan kepada seseorang yang menukil riwayatnya dari imam tersebut secara langsung disebut riwayat, kemudian apa yang disandarkan kepada orang lain yang meriwayatkan bacaan sesudah mereka disebut dengan thariq, sedangkan perbedaan-perbedaan yang mungkin ada di dalam riwayat dari satu orang imam tertentu dalam cara membaca kata atau ayat yang sama disebut dengan wajh.

Tidak banyak bacaan imalah kecuali pada kata (مجراها) di surah Hud. Hal ini berbeda dengan bacaan Syu’bah, Hamzah, Al-Kisa’I, Abu Amr, dan Warsy yang banyak membaca imalah
Penyebab tersebarnya riwayat Hafsh di dunia Islam sudah banyak dibicarakan oleh komunitas Al-Qur’an di dunia Arab atau lainnya. Sebagian kalangan mengatakan bahwa pemerintah Turki Utsmani, mempunyai peranan signifikan dalam hal ini. Bahkan, melalui kekuatan politik kekuasaan. Pada saat pemerintah Turki Utsmani mencetak mushaf, mereka memilih bacaan riwayat Hafsh. Lalu mereka mengembangkan bacaan riwayat ini keseluruh antero negeri.

Ada beberapa penyebab menyebarnya riwayat Hafsh. Ada faktor alamiah yaitu riwayat tersebut mengalir dan menyebar dengan sendirinya. Mengalir bagai air sebagaimana juga mazhab-mazhab fiqh menyebar. Ada juga faktor ilmiah, yaitu dilihat dari materi bacaan Hafsh itu sendiri. Secara garis besarnya adalah: Jika dilihat dari segi materi ilmiah, riwayat Hafsh relatif mudah dibaca bagi orang yang non-Arab mengingat beberapa hal, yaitu:
Ghanim Qadduri menyebut dengan melansir dari kitab Tarikh Al-Qur’an karya Muhammad Thahir Qurdi bahwa penulis mushaf yang sangat terkenal pada masa pemerintahan Turki Utsmani adalah Al-Hafizh Usman. Penulis ini sepanjang hidupnya telah menulis mushaf dengan tangannya sendiri sebanyak 25 mushaf. Dari mushaf yang diterbitkan inilah riwayat Hafsh menyebar ke seantero negeri.
Dalam membaca Mad Muttashil dan Munfashil, bacaan riwayat Hafsh terutama Thariq Asy-Syathibiyyah tidak terlalu panjang sebagaimana bacaan Warsy dan Hamzah yang membutuhkan nafas yang Panjang. Bahkan, dalam thariq Thayyibatunnasyr melalui jalur Amr bin Ash-Shabbah Thariq Zara’an dan Al-Fil, bacaan Hafsh dalam Mad Muttashil bisa qashr (2 harakat).

Dalam membaca hamzah, baik yang bertemu dalam satu kalimat atau dua kalimat, baik berharakat atau sukun, riwayat Hafsh cenderung membaca tahqiq yaitu membaca dengan tegas (syiddah) dengan tekanan suara dan nafas yang kuat sehingga terkesan kasar. Hal ini berbeda dengan bacaan Nafi’ melalui riwayat Warsy, Qalun. Bacaan Abu Amr melalui riwayat Ad-Duri dan As-Susi. Bacaan Ibn Katsir melalui riwayat Al-Bazzi dan Qumbul dari Ibn Katsir yang banyak mengubah bacaan hamzah menjadi lunak. Contohnya pada hamzah sakinah atau jika ada dua hamzah bertemu dalam satu kata atau dua kata. Imam Hafsh mempunyai bacaan tashil baina-baina hanya pada satu tempat saja, yaitu pada kata (ءأعجمى) di surah Fushshilat: 44.

Hafsh mempunyai bacaan isymam hanya disatu tempat yaitu pada kata (لاتأمنا) sebagimana juga bacaan Imam lainnya selain Abu Ja’far.
Hafsh mempunyai bacaan Mad Shilah Qashirah hanya pada kalimat (ويخلد فيه مهانا) di surah Al-Furqan: 69. Hal ini berbeda dengan bacaan Ibn Katsir yang banyak membaca shilah Ha’ kinayah.
Hafsh mempunyai jam mengajar yang demikian lama. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Al-Jazari, murid-murid Hafsh bertebaran diberbagai tempat. Hal ini berbeda dengan Syu’bah yang tidak begitu lama mengajar.
Jika dilihat dari segi awal kemunculan bacaan ‘Ashim yaitu di Kuffah atau Irak, secara politis, negeri Kuffah adalah negerinya pengikut Ali (Syi’ah). Bacaan Hafsh juga bermuara ke sahabat Ali. Kemudian, negeri Baghdad di mana Hafsh pernah mengajar di sini adalah Ibu Kota Negara (Abbasyiah) pada masa itu, pusat kegiatan ilmiah sehingga penyebaran relatif lebih mudah. Jika kemudian Hafsh bermukin di Mekah, kiblat kaum muslimin yang banyak dihuni mukimin dari berbagai penjuru dunia dan mengajar Al-Qur’an di sini, maka bisa dibayangkan pengaruh bacaannya.

Peranan para qari’, guru, imam shalat, dan radio, kaset, televisi juga sangat berpengaruh terhadap penyebaran riwayat Hafsh. Kita tahu bahwa rekaman suara pertama di dunia Islam adalah suara Muhammad Khalil Al-Hushairi atau inisiatif Labib Sa’id sebagaimana diceritakan sendiri dalam kitabnya Al-Mushaf Al-Murattal atau Al-Jam’ Ash-Shauti Al-Awwal; rekaman ini dengan riwayat Hafsh Thariq Asy-Syathibiyyah. Suara yang bagus melalui teknologi yang canggih ikut mempengaruhi satu bacaan.
Hafsh dianggap perawi Imam ‘Ashim yang demikian piawai yang menguasai bacaan gurunya. Sebagaimana diketahui, Hafsh adalah murid yang sangat setia kepada ‘Ashim. Mengulang khataman berkali-kali dan menyebarkan bacaan ‘Ashim dibeberapa negeri dalam rentang waktu yang lama. Makki Al-Qaisi menyebutkan bahwa ‘Ashim mempuyai kefashihan membaca yang tinggi, validitas sanadnya juga sangat kuat, dan para perawinya juga tsiqah (sangat dipercaya).
Ghanim Qadduri Al-Hamd menyebutkan bahwa mushaf pertama yang dicetak di Hamburg (Jerman) tahun 1694 M/1106 H, mushaf ini diharakati dengan bacaan Hafsh yang ada diperpustakaan-perpustakaan di beberapa negeri Islam. Hal ini banyak membawa pengaruh kepada masyarakat yang tentu mereka menginginkan mushaf yang sudah dicetak. Para penerbit mushaf di Hamburg sudah tentu melihat terlebih dahulu kecendrungan masyarakat saat itu.
Menurut Dr. K.H. Ahsin Sakho Muhammad Pengasuh Pesantren Dar Al-Qur’an, Arjawinangun Cirebon bahwa pada era tahun 1970-an, muncul metode-metode baru dalam pembelajaran Al-Qur’an. Dalam pengenalan huruf-huruf hijaiyah, ada yang langsung menggunakan huruf-huruf Arab, dan adapula yang menggunakan terlebih dahulu dengan huruf-huruf latin Indonesia. Masa yang diperkirakan bagi seseorang untuk bisa membaca Al-Qur’an melalui metode-metode tersebut, semakin hari semakin pendek, dari yang semula dua tahun yaitu dari umur 4 sampai 6 tahun, sampai ada metode yang berani menargetkan dalam beberapa pertemuan saja. Semua metode itu pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Bagaimanapun juga hal ini sungguh satu gejala yang menarik. Namun tentu saja yang paling penting target yang ingin dicapai adalah bagaimana para pengguna para buku-buku metode “cara membaca Al-Qur’an” itu, bisa membaca dengan baik dan benar, sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu tajwid.
Lebih dari penyebab lahiriah dari penyebaran riwayat Hafsh, kita tidak boleh melupakan adanya penyebab “maknawiah” atau faktor “berkah” atau kita bisa katakan faktor “X” pada diri Hafsh. Unsur-unsur spiritual seperti keshalehan, keihklasan, ketekunan, pengorbanan Hafsh dalam mengabdi kepada Al-Qur’an ikut menjadi penyebab tersebarnya satu riwayat, bahkan mazhab fiqh atau lainnya.

Jadi riwayat Hafsh telah menjadi fenomena tersendiri dalam penyebaran satu riwayat dalam qira’at. Riwayat Hafsh akan terus melebar dan menyebar ke seantero dunia, bahkan kenegeri-negeri yang menggunakan riwayat lain seperti Warsy, Qalun, Ad-Duri, dan lainnya sesuai dengan hukum kemasyarakatan. Dengan semakin menyebar riwayat ini, kedudukan Al-Qur’an semakin koko, orisinalitas bacaan Al-Qur’an dan mushaf Al-Qur’an semakin meyakinkan. Meredupnya riwayat lain bukan serarti meredup kemutawatiran satu bacaan. Bacaan-bacaan tersebut masih tetap mutawatir karena telah diakui oleh para Imam-imam qira’at terdahulu. Nabi sendiri tidak mewajibkan membaca Al-Qur’an dengan seluruh macam-macam yang pernah diajarkannya kepada para sahabatnya. Tapi, Nabi hanya menyuruh para sahabatnya untuk membaca bacaan yang mudah baginya. Dengan demikian, Al-Qur’an akan tetap terjaga kemurniannya sampai akhir zaman nanti. Itu bertanda bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah.

Di Indonesia, bahkan di belahan dunia Islam, mayoritas kaum muslimin mambaca Al-Quran berdasarkan Riwayat Hafsh An 'Ashim Min Thariqi Asy-Syathibiyyah, yakni Riwayat Hafsh dari Imam Ashim melalui jalur Asy-Syathibiyyah.

Maka di sini bisa kita pahami bahwa Imam Hafsh adalah seorang rawi (perawi qira'at Al-Quran), sedangkan Imam 'Ashim adalah seorang qari' yang mana bacaan tersebut disandarkan kepadanya, dan Asy-Syathibiyah adalah pemilik thariq. Dan Thariq Asy-Syathibiyah ini telah disebutkan oleh Imam Asy-Syatibi dalam mandzumahnya yang bernama: "Hirzul Amani Wa Wajhut Tahani" yang mencakup sebanyak 1173 bait sya'ir. Namun mandzumah tersebut lebih dikenal dengan sebutan "Mandzumah Asy-Syathibiyyah" yang dinisbatkan oleh para ulama qira'at kepada penulisnya, yakni Imam Asy-Syathibi.
B. Metode Pembelajaran Bacaan Al-Qur’an Berdasarkan Imam ‘Ashim Riwayat Hafsh Thariq Asy-Syathibiyyah
Untuk mencapai tujuan dalam Pendidikan, perlu seorang guru menetapkan bahan ajar yang akan dibahas dalam kegiatan belajar mengajar. Apabila dikaitkan dengan tujuan, maka materi yang akan diajarkan harus berfungsi yaitu dapat mendorong anak didik dalam pengembangan kemampuan berfikir, baik itu yang bersifat responden maupun kreatif.
Terdapat beberapa istilah yang terkait dengan metode seperti strategi, pendekatan, metode, model, taktik dan teknik. Dalam Bahasa Arab adalah dengan nama Tariqah atau Tariq, dalam bentuk jamaknya dikenal dengan Taraiq atau Turuq atau ‘Athriqah atau Thuruqah atau Athriqah yang kemudian diartikan dengan jalan yang diinjak. Dalam Bahasa Yunani disebut metodis berarti jalan atau cara. Adapun dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah Method yang berarti a system of ways of doing something (suatu sistem yang berisi tentang cara mengerjakan sesuatu). Sedangkan dalam Bahasa Indonesia, metode diartikan cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuatu dengan yang dikehendaki.
Penulis melihat pembelajaran bacaan Al-Qur’an berdasarkan Imam ‘Ashim Riwayat Hafsh Thariq Asy-Syathibiyyah itu memang sangat mudah membacanya.
Sebagai patokan dasar dalam qira’at atau membaca Al-Qur’an penulis merasa perlu mengetengahkan kaidah-kaidah bacaan secara khusus untuk Imam ‘Ashim riwayat Hafsh Thariq Asy-Syathibiyyah. Kaidah-kaidah ini menjadi sangat penting untuk diketahui dan dipahami secara baik dan benar.
Para ulama Qira’at senantiasa membaca dengan cara membaca setiap riwayat sampai khatam (ifradurriwayat). Bahkan diantara mereka ada yang membaca dengan cara membaca setiap thariq (ifraduthuruqi) sampai khatam untuk semua qira’at tujuh bahkan sepuluh. Cara-cara ini berlangsung sampai pertengahan abad ke 5 masa hidup Abu Amr Ad-Dani, serta lainnya. Pada akhir abad ini para ulama mulai nampak terdengar membaca qira’at dengan cara jama’ (mengumpulkan beberapa macam qira’at imam dalam bacaan) sampai khatam. Cara ini menurut mereka agar dalam satu kali khatam terbaca semua macam qira’at yang ada. Sehingga dapat diketahui dan dirasakan perbedaan yang terjadi dalam setiap qira’at. Disamping itu untuk mempersingkat waktu dalam mempelajarinya, para ulama yang menerapkan metode jama’ dalam mengajarkan qira’at terlihat dan terdengar dalam ragam metodenya, setidak-tidaknya dapat dibagi menjadi tiga macam metode yaitu:

Metode Harf

Metode Harf adalah membaca setiap perbedaan cara baca yang ada pada setiap kata atau kalimat baik perbedaan itu menyangkut kaidah-kaidah ushul maupun kaidah farsyul huruf sampai tuntas, sejalan dengan kebolehan waqaf dan ibtida’ pada kata atau kalimat tertentu. Sehingga dengan demikian semua macam perbedaan yang ada sempurna terbaca.

Metode Waqaf
Metode Murakkab Minal Madzhabain
Metode waqaf adalah membaca suatu qira’at tertentu dengan mendahulukan rawi tertentu sampai batas kata atau kalimat boleh waqaf. Kemudian kembali lagi membaca rawi lainnya sampai tuntas dan demikian seterusnya menyusul untuk riwayat atau qira’at berikutnya kecuali yang sama dengan riwayat atau qira’at sebelumnya tidak diulang.
Perintah membaca Al-Qur’an adalah bukan sekedar dengan cara tartil, akan tetapi dengan tartil yang benar-benar berkualitas. Menurut Ali bin Abi Thalib ra, tartil disini mempunyai makna “Tajwidul huruf wama’rifatul wuquf” membaguskan bacaan huruf-huruf Al-Qur’an dan mengetahui hal ihwal waqaf.
Metode murakkab minal madzhabain adalah suatu cara menjama’ yang mencerminkan dua cara sebelumnya (kombinasi) dengan mengedepankan rawi pertama yaitu membaca riwayat Qalun sampai kata atau kalimat sebagai tempat boleh waqaf.

Dari uraian metode jama’ qira’at tujuh dalam Thariq Asy-Syathibiyyah, maka penulis memfokuskan hanya satu bacaan imam saja yaitu Imam ‘Ashim Riwayat Hafsh Thariq Asy-Syathibyyah.
Allah swt yang menurunkan Al-Qur’an sebagai bacaan yang mulia agar dapat menjadi petunjuk bagi manusia dan pembeda antara yang benar dan bathil, sangat peduli dan tidak segan-segan memberi warning untuk tidak membacanya asal membaca.
Kaidah Pembelajaran Bacaan Al-Qur’an Berdasarkan Imam ‘Ashim Riwayat Hafsh Thariq Asy-Syathibiyyah
Allah swt berfirman di dalam Al-Qur’an surah Al-Muzammil/73: 4, yaitu:
Dengan basmalah pada dua surah kecuali surah Al-Anfal dengan awal surah Bara’ah dengan tiga cara yaitu waqaf, sakt, dan washal. Masing-masing dari tiga cara tanpa basmalah
… وَرَتِّلِ ٱلۡقُرۡءَانَ تَرۡتِيلًا ٤ “Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan”
Dengan demikian maksud tartil disini adalah melafazhkan ayat-ayat Al-Qur’an sebagus dan semaksimal mungkin, yang popular dengan unggulan membaca Al-Qur’an harus bertajwid. Untuk dapat bertajwid haruslah menguasai keilmuannya yaitu ilmu tajwid, baik teori maupun prakteknya yang menurut para ulama Al-Qur’an mempelajari ilmu tajwid hukumnya fardhu kifayah sedangkan hukum mempraktekkannya adalah fardhu ‘ain. Oleh karenanya Ibnu al-Jazari menegaskan di dalam nadzhaman yang terkenal, yaitu:
وَالْاَخْذُ بِالتَّجْوِيْدِ حَتْمٌ لَازِمٌ مَنْ لَمْ يُجَوِّدِ الْقُرْءَانَ ءَاثِمٌ
“Membaca Al-Qur’an bertajwid adalah wajib dan berdosa bagi pembaca yang tidak berdosa”.
Penulis akan memaparkan secara gamblang. Imam ‘Ashim mempunyai murid yang terkenal yaitu Imam Hafsh dan Imam Syu’bah. Kaidah-kaidah tersebut, yaitu:
Mad Muttashil dan Munfashil dengan empat harakat
Al-Qur’an adalah sumber agama (Juga ajaran) Islam pertama dan utama. Menurut keyakinan umat islam yang di akui kebenarannya oleh penelitian ilmiah, Al-Qur’an adalah kitab suci yang memuat firman-firman (wahyu) Allah swt, sama benar yang di sampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw sebagai Rasul Allah sedikit demi sedikit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula di Makkah kemudian di Madinah, tujuannya untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia ini dan kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia ini dan kebahagiaan di akhirat kelak.
Dalam riwayat Hafsh huruf dhad pada tiga tempat ضعف dan ضعفا ayat 54 surah Ar-Ruum dengan baris atas dan baris dhammah. Sedangkan Syu’bah dengan baris atas saja
Dalam riwayat Syu’bah مِن لَّدُنه ayat 76 surah Al-Kahfi dengan sukun Ha Bersama Isymam, nun dengan baris bawah dan Ha dengan shilah. Dalam Riwayat Syu’bah tanpa ada ya Zaidah pada اتان ayat 36 surah An-Naml saat washal dan waqaf.
C. Standar Ilmiah Ilmu Tajwid Bacaan Al-Qur’an Berdasarkan Imam ‘Ashim Riwayat Hafsh Thariq Asy-Syathibiyyah

Penulis membahas tentang utama pada materi standar ilmiah ilmu tajwid bacaan Al-Qur’an berdasarkan Imam Hafsh ‘an ‘Ashim thariq Asy-Syathibyyah ini, untuk memberikan wawasan atau gambaran umum kepada orang Islam yang ada di Indonesia, khususnya peserta didik SD Islam Plus Al-Madinah Tangerang.
Pengertian Pembelajaran Ilmu Tajwid adalah pembelajaran merupakan bagian dari strategi pembelajaran yang berfungsi sebagai cara untuk menyampaikan, menguraikan memberi contoh dan memberikan latihan kepada anak didik untuk mencapai tujuan tertentu. Roestiyah NK menguraikan bahwa pembelajaran adalah sebagai cara penyampaian materi yang digunakan seorang guru dalam memberikan bahan pelajaran kepada peserta didik di dalam kelas dengan harapan agar bahan pelajaran yang diberikannya dapat ditangkap, dipahami dan digunakan oleh peserta didik dengan baik.

Dalam proses pembelajaran, mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya pencapaian, karena merupakan sarana dalam menyampaikan materi pembelajaran yang tersusun dalam kurikulum. Akan tetapi pembelajaran tidak akan dapat berproses secara efektif dan efisien dalam kegiatan pembelajaran menuju tugas pendidikan. Metode yang tidak efektif akan menjadi penghambat kelancaran proses belajar mengajar.

Membaca Al-Qur’an tidak sama seperti membaca koran atau buku-buku lain yang merupakan perkataan manusia belaka. Membaca Al-Qur’an adalah membaca firman-firman Tuhan dan berkomunikasi dengan Tuhan, maka seseorang yang membaca Al-Qur’an seolah-olah berdialog dengan Tuhan. Olehnya itu, diperlukan pengetahuan atau keterampilan membaca Al-Qur’an yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan kaidah ilmu tajwid.
Oleh karena itu, yang diterapkan oleh seorang pengajar harus berdaya guna dan berhasil guna dalam pencapaian tujuan pembelajaran sesuai yang telah ditetapkan.

Ruang Lingkup Pembelajaran Ilmu Tajwid Membaca dan menyimak bacaan Al-Qur’an telah dilakukan sejak wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., dan beliaulah orang pertama kali yang membacanya, kemudian diikuti dan diajarkan kepada para sahabat.
Dalam matan al-Jazariyyah, dijelaskan bahwa ilmu tajwid adalah ilmu yang memberikan pengertian tentang hak-hak dari sifat huruf dan mustahaq al-huruf.
Tajwid menurut maknanya ialah membetulkan dan membaguskan bunyi bacaan Al-Qur’an menurut aturan-aturan hukumnya yang tertentu. Sedangkan pengertian tajwid menurut istilah ialah ilmu yang memberikan segala pengertian tentang huruf, baik hak-hak huruf maupun hukum-hukum baru yang timbul setelah hak-hak huruf dipenuhi, yang terdiri atas sifat-sifat huruf, hukum-hukum mad, dan sebagainya. Sebagai contoh adalah tarqiq, tafkhim dan semisalnya.
Manna’ al-Qattan dalam bukunya “Pengantar Studi Al-Qur’an” mendefinisikan tajwid: Memberikan kepada huruf akan hak-hak dan tertibnya, mengembalikan huruf kepada asalnya (makhraj), serta menghaluskan pengucapannya dengan cara yang sempurna tanpa berlebihan, kasar, tergesa-gesa dan dipaksakan.
Perlu dipahami bahwa salah satu perbedaan tilawah antara seseorang dengan lainnya, sangat tergantung pada fasih dan tidaknya pengucapan huruf dari pembaca itu sendiri. Untuk itu perlu dipelajari dan diketahui tempat-tempat keluarnya huruf dan sifat-sifatnya. Yang selanjutnya dipakai sebagai bahan latihan secara individu dengan terus menerus (intensif), agar dapat tepat sesuai dengan kaidah-kaidah pengucapan huruf yang benar.
Dari beberapa pengertian tajwid di atas, maka secara garis besar pokok bahasan atau ruang lingkup pembelajaran ilmu tajwid dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

Haq al-huruf, yaitu segala sesuatu yang lazim (wajib ada) pada setiap huruf. Huruf ini meliputi sifat-sifat huruf dan tempat-tempat keluarnya huruf. Apabila hak huruf ditiadakan, maka semua suara atau bunyi yang diucapkan tidak mungkin mengandung makna karena bunyinya menjadi tidak jelas.

Mustahaq al-huruf, yaitu hukum-hukum baru yang timbul oleh sebab-sebab tertentu setelah hak-hak huruf melekat pada setiap huruf. Mustahaq al-huruf meliputi hukum-hukum seperti izhar, ikhfa’, iqlab, idgam, qalqalah, gunnah, tafkhim, tarqiq, mad, waqaf dan lain-lain.

KESIMPULAN
Eggen, Paul dan Don Kauchak. Strategi dan Model Pembelajaran: Mengajarkan Konten dan Keterampilan Berpikir. Jakarta: Indeks, 2012.
Al-Qur’an seratus persen berasal dari Allah swt, baik secara lafadz maupun makna, di wahyukan kepada Nabi dan Rasul Muhammad saw melalui wahyu “Al-Jalily” (wahyu yang jelas) dengan turunnya Malaikat Jibril sebagai utusan Allah untuk di sampaikan kepada Rasulullah dan bukan melalui jalan wahyu yang lain.

Indonesia adalah negara yang penduduknya mayoritas memeluk Agama Islam. Negara ini bila dibandingkan dengan negara-negara di dunia, merupakan negara yang terbesar umat Islamnya. Tidak ada sebuah negara pun di dunia ini yang jumlah umat Islamnya menandingi jumlah umat Islam di Indonesia. Di negara Nusantara ini, di pondok-pondok, surau-surau, pesantren-pesantren, rangkang-rangkang (nama tingkatan pengajaran junior), meunasah-meunasah dan madrasah-madrasah terdapat usaha menghafal Al-Qur’an. Umat Islam di manapun berada merasa bahwa menghafal Al-Qur’an merupakan suatu ibadah yang besar pahalanya. Orang-orang yang hafal Al-Qur’an amat ditinggikan dan dihormati oleh masyarakat.

Di Indonesia bacaan Al-Qur’an yang sering digunakaan adalah Imam Hafsh ‘An ‘Ashim Thariq Asy-Syathibiyyah dikarenakan bacaan menurut Imam Hafsh itu lebih mudah karena Farshul Huruf tidak berubah dan sesuai dengan tulisan, akan tetapi sedikit saja perubahannya dari pada bacaan Al-Qur’an selain Imam Hafsh.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. Zaenal. Khazanah Ilmu Al-Qur’an. Tangerang: Yayasan Masjid At-Taqwa, 2018.
Asnawi. Efektivitas Penyelenggaraan Publik Pada Samsat Corner Wilayah Malang Kota. Malang: UMM, 2013.

Ali, Muhammad Daud. Pengantar Agama Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Al-Qardawi, Yusuf. edisi terjemah: Berinteraksi dengan Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insan, 1999.

Arsyad, Azhar. Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011.
Al-Qaththan, Manna Khalil. Mabahis fi ‘Ulumul Qur’an. Mesir: Maktabah Wahbah, 2008.

Ash-Shabuny, Muhammad Ali. At-Tibyan fi ‘Ulumul Qur’an. Dar al-Mawahib al-Islamiyyah, 2016.

At-Tirmidzi. Sunan at-Tirmidzi al-Jami’ ash-Shahih, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, t.th.
Arwani, M. Ulinnuha. Thariqah Baca Tulis Dan Menghafal Al-Qur’an: Yanbu’a Jilid I. Kudus: Pondok Tahfidh Yanbu’ul Qur’an, 2004.

Arikunto, Suharsimi. Dasar dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2006.

Arsyad, Azhar. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers, 2017.
Al-Zina, Abu Muhammad Sufuti, Al-Bayan al-Sadid fi Ahkam al-Qira’at wa al-Tajwid. Kairo: Dar al-Hadis, 2005.

Ash-Shalih, Subhi. Mabahis fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar al-‘Ilm Lilmaliyin, 1998.
Al-A’zami, M.M., Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai Komplikasi. Jakarta: Gema Insan, 2014.
An-Nahlawi, Abdurrahman. Prinsip dan Metode Pendidikan Islam. Bandung: Diponegoro, 1989.

An-Nadawi, Surur Shihabuddin. Ilmu Tajwid menurut Riwayat Hafs ‘An ‘Asim melalui Thariq asy-Syatibiyyah. Kuala Lumpur: Pustaka Salam, 2014.

Al-Majidi, ‘Abd Salam Muqbil. Bagaimana Rasulullah Mengajarkan Al-Qur’an kepada Para Sahabat. Jakarta: Darul Falah, 2008.
Al-Hadhrami, Sa’id bin Sa’d bin Nabhan. Terjemahan Hidayah ash-Shibyan. Jakarta: Munash Press, 2017.

Alam, Sei H. Dt. Tombak. Ilmu Tajwid Populer 17 Kali Pandai. Jakarta: Amzah, 2008.
Al-Jamzury, Sulaiman. Syarah Tuhfathul Athfal: Pedoman Tajwid Untuk Pemula. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2017.
Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Al-Faqiyhi, Ahmad Hijazi, al-Qaulu as-Sadid Fii Ahkami at-Tajwid, Mekah: Al-Maktabah Al-Alamiyah, t.th.
Al-Mahmud, Muhammad. Hidayatul Mustafid: Ilmu Tajwid Lengkap dan Praktis. t.tp: Sarana Ilmiah, t.th.

Bahary, Ansor. “Mushaf utsman Ibn Affan: Sejarah Ijtihad Orisinalitas dan Sakralitas Kondifikasi Al-Qur’an.” dalam Jurnal Al-Dhikara, Vol. 1 No. 1 2016, hal. 46.

Basuki, Sulistio. Metode Penelitan. Jakarta: Penaku, 2010.
Basri, Hasan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2017.
Direktur Jenderal Bimbingan Agama Islam. Metode-Metode Membaca Al-Qur’an Di Sekolah Umum. Jakarta: Depag RI, 1998.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1998.
Dimyati dan Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta, 2013.
Salahudin, Anas. Metode Riset Kebijakan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Setia, 2017.

Dakir. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004.
Echols, John M. dan Hasan Shadily. An English Indonesia Dictionary. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Fadila, Nur. “Efektivitas Metode Pembelajaran Al-Qur’an: Studi Komparasi Implementasi Metode Tilawati Dan Metode At-tartil Di Yayasan Himmatun Ayat Surabaya.” Tesis. Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2016.

Fathurrahman, Muhammad dan Sulisytorini. Belajar dan Pembelajaran (t.d)

Fathurrahman, Pupuh dan M. Sobry Sutikno. Strategi Belajar Mengajar: Melalui Penanaman Konsep Umum dan Islami. Bandung: PT. Refika Aditama, 2001.

Fathoni, Ahmad. Petunjuk Praktis Tahsin Tartil Al-Qur’an: Metode Maisura. Bogor: CV Duta Grafika, 2017.

Hanief, Fakhrie. “Perbedaan Bacaan Dalam Pembelajaran Ilmu Tajwid Menurut Thariq Al-Syatibi Dan Ibn Al-Jazari Pada Qira’at ‘Ashim Riwayat Hafsh.” Jurnal Tarbiyah Islamiyyah. Vol. 5 No. 1 Tahun 2015.

Harjanto. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta, 2011.

Hamalik, Oemar. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009.

Hude, M. Darwis. Petunjuk Menghafal Al-Qur’an. Jakarta: Pendidikan Tahfizhul Qur’an, 1990.
Kosasih, Nandang dan Dede Sumarna, Pembelajaran Quantum dan Optimalisasi Kecerdasan, Bandung: Alfabeta.

Hammil. Donald D. Teaching Children With Kerning and Behavior Problems. Massachusetts: Allyn and bacon, 1978.

Ismail. Strategi Pembelajaran: Agama Islam Berbasis PAIKEM. Semarang: Media Group, 2008.
Komalasari, Kokom. Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi, Bandung: PT. Refika Aditama.
Ihyaul, Ulum M.D. Akuntansi Sektor Publik, Malang: UMM Press, 2004.
Mulyasa, E. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005.

Mardiyo. Pengajaran Al-Qur’an, dalam Habib Thoha, et al. Metodologi Pengajaran Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Muhammad, Ahsin Sakho Membumikan Ulumul Qur’an: Tanya Jawab Memudahkan Tentang Ilmu Qira’at, Ilmu Rasm Utsmani, Ilmu Tafsir, dan Relevansinya dengan Muslim Indonesia. Jakarta: Qaf Media Kreatif, 2019.

Munjin, Ahmad dan Lilik Nur Kholidah. Metode dan Teknik Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT Refika Aditama, 2009.

Mudlofir, Ali. Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Dan Bahan Ajar Dalam Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.

Muhajir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarani, 1996.
Nashir, Athiyah Qabil. Ghayah al-Murid fi Ilmi at-Tajwid, Riyad: ad-Da’wah wa al-Irsyad, 1408 H.

Murjito, Imam. Pedoman Metode Praktis Pengajaran Ilmu Al-qur’an Qira’ati. Semarang: Raudhatul Mujawwidin, 2000.
Poerwadarminta, W. I. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976.

Nata, Abuddin. Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana, 2009.

Nugraha, Fadjar. Metodoligi Pembelajaran Agama Islam. Tangerang Selatan: Lembaga Kajian Islam Nugraha, 2015.

N. K., Roestiyah. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Bhineka Cipta, 1991.
Ningsih, Solekah Agus, “Pelaksanaan Metode Tasmi’ dan ‘Iadatul Qur’an dalam Menghafal Al-Qur’an Di Sekolah Dasar Islam Terpadu Ulul Albab Nganjuk, “ Skripsi. Tulung Agung: IAIN Tulung Agung, 2018.

Rahman, ‘Abdi-I R. Pedoman Menghayati dan Menghafal Al-Qur’an. Jakarta: Hadi Press, 1997.

Riduan, Muhammad., et al. Manajemen Program Tahfidz Al-Qur’an pada Pondok Pesantren Modern. Ta’dibi: 2016.

Rohmawati, Afifatu. “Efektivitas Pembelajaran.” Jurnal Pendidikan Usia dini. vol. 9, Edisi 1, April 2015.

Rosyada, Dede. Media Pembelajaran. Jakarta: Press Jakarta, 2010.
Rofi’I, Ahmad. Metode Rasulullah Dalam Pendidikan Karakter Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: 2018.

R, Ibrahim, dan Nana Syaodih. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Suhendar, E. “Upaya Menjaga Keutuhan Al-Qur’an dalam Perspektif Bacaan Al-Qur’an: Studi Bacaan Al-
Qur’an Riwayat Hafsh dari Imam ‘Ashim Thariq Asy-Syathibiyyah.” Tesis. Jakarta: PTIQ Jakarta, 2017.

Rahim, Tarida. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008.
Salim, Muhsin. Ilmu Qira’at Sepuluh. Jakarta: Majelis Kajian Ilmu-Ilmu Kajian Al-Qur’an, 2007.

Salim, Muhsin. Ilmu Qira’at Tujuh: Metodologi Jama’ Imam Qira’at Tujuh Menurut Thariq Asy-Syathibiyyah. Jakarta: Yataqin, t.th.

Surasman, Otong, Metode Insan Kunci Praktis Membaca Al-Qur’an Baik dan Benar, Jakarta: Gema Insan Press, 2004.
Susilo, Madya Eko. Dasar-dasar Pendidikan. Semarang: Effhar Offsetm, 1990.

Sugiono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabet, 2016.
Sabri, Ahmad. Strategi Belajar Mengajar Micro Teaching. Jakarta: Quantum Teaching, 2005.
Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2008.

Shunhaji, Akhmad. Implementasi Pendidikan Agama: di Sekolah Katolik Kota Blitar dan Dampaknya Terhadap Interaksi Sosial. Yogyakarta: Aynat Publishing, 2017.

Susianti, Cucu. “Efektivitas Metode Talaqi Dalam Mengkatkan Kemampuan Menghafal Al-Qur’an Anank Usia Dini”. Tesis. Purwakarta: Universitas Pendidikan Indonesia, 2016.

Sulaeman, Dede. “Pengaruh Pembinaan Keagamaan Terhadap Tingkah Laku Anak”. Tesis. Jakarta: Universitas Islam Attahiriyah, 2013.

Sarnoto, Ahmad Zein. “Pengantar Studi Pendidikan Berbasis Al-Qur’an: Manajemen Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an. “ Jurnal Madani Institute. Vol. 5 No. 2 Tahun 2016.

Tim Redaksi. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.

Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Manajemen Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2017.

Tekan, Ismail. Tajwid Qur’an Karim. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1980.
Wardoyo, Sigit Mangun. Pembelajaran Konstruktivisme: Teori dan Aplikasi Pembelajaran dalam Pembentukan Karakter. Bandung: Alfabeta, 2013.

Usman, Moh. Uzer. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011.

Uhbiyati, Nur. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan Islam. Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2012.

Warsito, Bambang. Teknologi Pembelajaran landasan dan AplikasinyaI. Jakarta: PT Rineka Putra, 2008.
Yamin, Martinis. Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi. Jakarta: Gaung Persada Press, 2004.

Yahya, Abu Zakaria. At-Tibyan: Adab Penghafal Al-Qur’an. Sukoharjo: Al-Qawam, 2018.

Yuwono, G. B. Pedoman Umum Ejaan Indonesia Telah Disempurnakan. Surabaya: Indah, 1987.

Yusuf, Tayar. Ilmu Praktek Mengajar Metodik Khusus Pengajaran Agama. Bandung: Al Ma‟arif, 2008.

Zein, Muhammad. Metodologi Pengajaran Islam. Yogyakarta: AK Group, 1995.


Post a Comment

0 Comments