B. Pengertian dan Berbagai Istilah Dalam Studi Hadis
Untuk mendekatkan pemahaman terhadap studi hadis, maka
ada beberapa pengertian danistilah yang harus dipahami terlebih dahulu, antara lain:
Menurut Azami dalam Yuslem” hadis” secara bahasa ialah
komunikasi, cerita, percaka/`;pan, baik dalam konteks agama atau duniawi, atau
dalam konteks sejarah,atau peristiwa dan kajadian aktual . Hadis juga berarti
al-jadid (sesuatu yang baru)yang lawan katanya al qadim (sesuatu yang
lama).Selain itu ada yang mengartikan hadis dengan kata qarib (sesuatu yang
dekat).Selain itu makna hadis adalah khabar(warta) yakni”ma yutahaddasu bihi wa
yunqolu”yang m aksudnya sesuatu yang dipercakapan dan dipindahkan dari seorang
kepada seseorang. Sedangkan secara terminologi ahli hadis dan ahli ushul
berbeda pendapat dalam memberikan pengertian tentang hadis. Menurut ahli hadis,
pengertian hadits adalah;
اقوال ا لنبي صلي ا لله عليه و سلم و افعا له واحواله و قال الاخركل ما ا ثرعن ا لنبي صلي ا لله عليه و سلم من قول ا فعل او تقرير
Artinya:z
“Seluruh perkataan, perbuatan dan hal ihwal tentang nabi Muhammad SAW, sedangkan menurut yang lainnya adalah segala sesuatu yang bersumber dari nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya “ Sedangkan hadis menurut ahli ushul adalah
“Seluruh perkataan, perbuatan dan hal ihwal tentang nabi Muhammad SAW, sedangkan menurut yang lainnya adalah segala sesuatu yang bersumber dari nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya “ Sedangkan hadis menurut ahli ushul adalah
اقواله وافعا له وتقريرا ته التي تثبت الاحكا م و تقررها
Artinya:”Semua perkataan, perbuatan, dan taqrir
nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum syar’i dan ketetapannya”
Pandangan yang berbeda tentang pengertian hadis dalam
persfektif ahli hadits dan ahli ushul fiqih, kemudian memunculkan
perbedaan dikalangan umat dalam mengimplementasikan keteladanan terhadap
Rasulullah SAW, seperti anggapan tentang sebahagian umat yang mengatakan
bahwa memakai sorban adalah sunnah Rasul,sementara yang lain menganggapnya
sebagai tradisi dan budaya bangsa arab.
1.
Sunnah
Sunnah menurut bahasa adalah jalan yang diikuti atau kebiasaan yang baik maupun buruk. Baik dan buruk itu ditentukan dengan cara penafsiran. Bentuk jamak dari sunnah adalah sunan. Hadis Abdullah ibn Amr’ menurut As-Syafi’i:
Sunnah menurut bahasa adalah jalan yang diikuti atau kebiasaan yang baik maupun buruk. Baik dan buruk itu ditentukan dengan cara penafsiran. Bentuk jamak dari sunnah adalah sunan. Hadis Abdullah ibn Amr’ menurut As-Syafi’i:
لتركبن سنة من كان قبلكم حلوها ومرها
Artinya
:
“Kalian akan mengikuti sunnah orang sebelum kalian yang manis dan pahitnya” Sedangkan secara terminologi para ahli mendefinisikan sunnah sebagai berikut:
a. Menurut ulama ushul fiqih, sunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi,
“Kalian akan mengikuti sunnah orang sebelum kalian yang manis dan pahitnya” Sedangkan secara terminologi para ahli mendefinisikan sunnah sebagai berikut:
a. Menurut ulama ushul fiqih, sunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi,
perkataan, perbuatan dan ketetapan.
b.
Menurut ulama hadis, sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
nabi baik berupa perkataan,
perbuatan, persetujuan,sifat dan perilaku hidupnya.
Dalam perspektip inilah sunnah identik
dengan hadis
c.
Menurut ulama fiqih,sunnah adalah suatu hukum yang jelas dari nabi
Muhammad
SAW yang tidak termasuk fardhu dan wajib.
SAW yang tidak termasuk fardhu dan wajib.
2. Khabar
Menurut al-Thahan dalam Yuslem”khabar”secara
etimologis berarti al-Naba’; yaitu berita. Sedangkan pengertian khabar menurut
istilah, terdapat tiga pendapat yaitu;
a. Khabar adalah sinonim dari hadis, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW dari perkataan,perbuatan, taqrir dan sifat.
a. Khabar adalah sinonim dari hadis, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW dari perkataan,perbuatan, taqrir dan sifat.
b.Khabar berbeda dengan hadis. Hadis adalah sesuatu
yang datang dari nabi SAW, sedangkan khabar adalah berita dari selain nabi SAW.
c.Khabar lebih umum dari pada hadis. Hadis adalah
sesuatu yang yang datang dari nabi SAW, sedangkan khabar adalah yang
datang dari nabi atau dari selain nabi SAW
3. Atsar
Atsar secara etimologis berarti baqiyyat al
syay,yaitu sisa atau peninggalan sesuatu, Sedangkan pengertiannya secara
terminologis terdapat perbedaan pendapat ulama.Jumhur ulama mengatakan bahwa
atsar sama dengan khabar.Sedangkan ulama Khurasan bahwa atsar ditujukan untuk
al-mauquf,dan khabar ditujukan yang al-marfu’.
C. Unsur – Unsur Pokok Hadis
1. Sanad
Sanad menurut bahasa berarti mu’tamad,yaitu tempat besandar
tempat berpegang yang dipercaya. Sedangkan menurut terminologi sanad
adalah silsilah orang-orang(yang meriwayatkan hadis),yang menyampaikannya
pada matan. Ada juga ulama yang mendefinisikan matan sebagai silsilah para
perawi yang menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama.
2. Matan
Matan menurut bahasa berarti “sesuatu yang menjorok
keluar “atau” sesuatu yang nampak “ atau”sesuatu yang keras dan
tingg(terangkat)dari bumi”. Dan menurut istilah matan berarti lafal-lafal hadis
yang didalamnya mengandung makna. DenHgan kata lain matan adalah materi
hadis atau lafal hadis itu sendiri.
3. Rawi
Kata rawi atau al-rawi berarti orang yang
meriwayatkan atau memberitakan hadis (naqil al-hadis).Defenisi lain mengatakan
bahwa rawi adalah orang yang menerima hadis kemudian menghimpunnya dalam satu
kitab tadwin. Dengan kata lain seorang rawi adalah mudawwin (yang
membukukan hadis).
D. Perkembangan Awal Studi Hadis
Ketika ada usaha untuk menela’ah tentang awal
perkembangan studi hadis, maka ada hal-hal yang tidak boleh diabaikan untuk
dipahami seperti tentang perkembangan periwayatan hadis. Membicarakan hadis
daklam proses historiografinya, maka hadis mengalami beberapa periode,dari
periode keterpeliharaan dalam hapalan hingga periode dibukukannya hadis
(pentadwinan).Mohammad Abd al-Azi al-Kulli merumuskan 5(lima )periode,
sebagai berikut;
1.
Periode keterpeliharaan hadis dalam hapalan
(Hifzh al-sunnah fi al-shudur) pada Abad pertama hijriyah.
2.
Periode pentadwinan hadis dengan fatwa sahabat
dan tabi’in berlangsung selama Abad kedua hijriyah.
3.
Periode pentadwinan dengan memisahkan hadis dari
fatwa sahabat dan tabi’in Hal ini berlangsung sejak awal abad ketiga
hijriyah.
4.
Periode seleksi keshahihan hadis.
5. Periode pentadwinan
hadis tahdzib dengan sistematika penggabungan dan penyarahan, berlangsung mulai
abad keempat hijriyah.
Sementara Muhammad ‘Ajaj al-Khatib,membagi periode
periwayatan hadis kedalam tiga periode,yaitu :
1.
Perode Qobla al-tadwin,yang dihitung sejak masa nabi
SAW hingga tahun ke
100 hijriyah.
100 hijriyah.
2.
Periode ‘inda al-tadwin sejak tahun 101 hijriyah sampai
akhir abad ke 3 hijriyah.
3. Periode ba’da
al-tadwin yaitu sejak abad ke empat hijriyah hingga masa
hadis
terkoleksi dalam kitab- kitab hadis.
terkoleksi dalam kitab- kitab hadis.
Dari uraian ulama hadis tentang periodisasi penghimpunan
hadis,maka dapat disimpulkanbahwa ternyata periodisasi penghimpunan hadis
mengalami masa yang lebih panjang dibandingkan periodisasi penghimpunan
al-Quran yang hanya 15 tahun saja.Sementara penghimpunan dan
pengkodifikasian hadis memerlukan waktu sekitar 3 abad lebih.
Tentunya ada faktor – faktor yang mempengaruhi proses tadwin
al-hadis hingga memakan waktu 3 abad lebih diantara adalah sebagai berikut :
1. Adanya larangan
kodifikasi hadis karena kekhawatiran tercampur aduknya
antara al Qur’an dengan hadis.
antara al Qur’an dengan hadis.
2. Kehati-hatian
Khulafau al rasyidin dengan mewajibkan bagi yang
akan meriwayatkan hadis dengan
mendatangkan saksi serta diambil sumpah.
3. Konflik dan tendensi
politik Ali dan Muawiyahyang menyebabkan terjadinya
pembuInuhan karakter.
pembuInuhan karakter.
E. Perkembangan Masa Modern
Pandangan
Rahman tentang sunnah dan hadits dalam kenyataannya bersumber pada kajiannya
terhadap evolusi histori kedua konsep tersebut. Kajiannya dalam masalah ini,
sebagaimana telah diungkapkan merupakan respon terhadap kontroversi yang
berkepanjangan mengenai sunnah dan hadits.
Ignaz
Goldziher dapat dikatogorikan sebagai sarjana Barat yang melakukan studi kritis
terhadap evolusi hadits. Dalam karya monumentalnya, ia mengemukakan bahwa
fenomena hadits berasal dari zaman Islam paling awal. Akan tetapi karna
kandungan hadits yang terus membengkak pada masa selanjutnya dan karena dalam
segenap generasi muslim materi hadits berjalan pararel dengan doktrin-diktrin
aliran fiqh dan teologi yang seringkali bertabrakan, maka Goldziher menilai
sangat sulit menentukan hadits-hadits yang orisinal berasal dari Nabi. Sebagian
besar materi hadits, menurutnya lebih merupakan “hasil perkembangan religius,
histori dan sosial Islam selama dua abad pertama” atau refleksi dari
tendensi-tendensi yang muncul dalam komunitas muslim selama masa tersebut.
Konsekuensi logisnya, Goldziher menyimpulkan bahwa produk-produk komplikasi
hadits yang ada dewasa ini tidak bisa dipercaya secara keseluruhannya sebagai
sumber ajaran-ajaran dan prilaku Nabi sendiri. Sementara tentang sunnah, ia
mengemukakan bahwa konsep ini telah ada pada masa Arab pra-Islam dengan
tradisi-tradisi, adat istiadat, dan kebiasaan nenek moyang bangsa Arab yang
menjadi panutan.[1]
Di
samping Goldziher, sarjana terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje, juga mengadakan
penelitian terhadap evolusi hadits dan sampai kepada kesimpulan bahwa sunnah
(aturan-aturan normatif) yang terhadap di dalam berbagai hadits, dalam
kenyataanya merupakan postulat-postulat dogmatis kaum muslim sendiri. Menurutnya
keyakinan para pemimpin kaum muslim pada dua atau tiga abad pertama Islam bahwa
setiap aturan yang mesti diikuti masyarakat Muslim haruslah didasarkan pada
sunnah Nabi, “telah membuat para ulama pada periode awal itu menambahkan
pandangan-pandangan mereka pada setiap masalah yang dipandangan penting bagi
masyarakat dalam bentuk hadits. [2]
Hasil
penelitian Prof. Dr. Fazlul Rahman tentang evolusi sunnah dan hadits diringkas
dengan jelas dalam kutipan berikut :
“ Kita temukan bahwa dalam sejarah Isalm awal,
ijtihad dan ijma’ tidak hanya berkaitan secara intim antara satu dengan yang
lainnya, tetapi juga berhubungan dengan sunnah yang bermula dari sunnah Nabi,
yang merupakan proses interpretasi dan elaborasi kreatif yang berlangsung
terus-menerus dengan diberi sangsi ijma’. Namun proses kreatif ini terhenti,
menciut secara perlahan hingga macet, ketika sunnnah yang hidup tersebut mulai
ditempa kedalam bentuk hadits
[1] Taufik Adnan Amal, “Islam dan tantangan modernitas” ,
(Bandung:1992), hlm. 163
[2] Ibid, Hlm. 164
0 Comments